Jakarta –

Setiap pekerjaan mempunyai risikonya masing-masing, begitu pula para bajaji ibu kota yang harus merasakan panasnya kehidupan di aspal jalanan Jakarta. Mereka harus siap menghadapi perampokan dan perampokan di siang hari.

Pada Kamis (7/4/2024), saat menjelajahi sudut-sudut kota Jakarta yang akan segera menjadi ibu kota, detikcom melihat becak sepeda motor terparkir di belakang Pasar Tanah Abang Blok B, Jakarta Pusat. Sebuah Bajaj hijau dengan atap hitam diparkir di pinggir jalan dekat gang yang dipenuhi kios.

Sore itu, saat hujan ringan terus mengguyur jalan, Ahjar (65), seorang sopir bajay, terlihat duduk di dalam menawarkan orang yang lewat untuk menjadi penumpangnya. Melihat hal tersebut, Detikcom segera menghampirinya dan mencoba berbicara dengannya.

Ahyar dengan ramah membiarkan dirinya berbicara kepada mereka. Setelah itu dia mengajak kami naik Bajaj yang dikendarainya karena di luar masih hujan. Namun tak lama kemudian seorang pemuda datang dan meminta uang.

Ahyar dengan cepat menjelaskan maksud masuk bajaj bersama detik dan mengatakan, yang duduk di belakangnya bukanlah penumpang. Ia pun meyakinkan bahwa Bajaj tidak akan kemana-mana lagi dan hanya akan ngobrol beberapa saat saja.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, pemuda yang datang meminta uang itu diketahui merupakan ‘satpam’ di Pasar Tanah Abang. Ahyar mengatakan, di wilayah tempat tinggalnya, banyak sekali masyarakat yang meminta “uang keamanan” saat becak berhenti dan saat mendapatkan penumpang setelah berhenti.

“Hei disini kamu harus membayar, jika kamu tidak membayar kamu akan diusir dari tempat ini.” Depan) Blok B 10 ribu rupee (senilai biaya), di sini (belakang Blok B CTA) RP

Lebih lanjut, dia menjelaskan, di banyak tempat di sekitar Pasar Tanah Abang, pengemudi bajaj akan dikenakan tarif berbeda untuk pemberhentian dan penarik penumpang. Seperti di tempat kami bertemu, pengemudi harus membayar Rp 5 ribu saat tiba dan menginap tempat parkir dan Rp 2 ribu saat mendapat penumpang.

Artinya, ia harus membayar Rp 7 ribu setiap berhenti dan mendapat penumpang. Kemudian di tempat lain yang tak jauh dari situ, pengemudi bajaj juga dikenakan biaya parkir sebesar Rp5 ribu dan derek penumpang sebesar Rp2 ribu.

Namun yang membedakan titik ini dengan tempat peristirahatan adalah pengemudi Bajaj hanya dikenakan biaya ‘tumpangan gratis’ di sana selama satu hari saja. Saat ini, di wilayahnya, pengemudi harus membayar parkir setiap kali datang (walaupun mereka sudah membayar sebelumnya dan baru pulang dari perjalanan).

Jika sebelum Blok A, pengemudi akan dikenakan biaya sebesar Rp15 ribu. Saat ini biaya derek penumpang sebesar Rp 5 ribu. Oleh karena itu, pengemudi di dekat blok A tidak mau menerima penumpang dengan biaya tol yang kecil, karena tidak akan ada biaya “keamanan”.

“Aku sedih, kadang (hanya naik becak) aku belum makan apa pun, aku terpaksa, kalau aku tidak punya uang, aku tidak bisa tinggal di sini, aku harus menyetir.” Saya gak punya baju Rp lho, buat becak kalau orang mau nangis juga nggak apa-apa.

Sementara itu, Hussain (52) yang biasa tinggal di dekat stasiun Mangarai, mengaku tidak ada biaya ‘keamanan’ jika nongkrong di kawasan tersebut. Begitu juga dengan biaya penjemputan penumpang.

Namun, berdasarkan pengalamannya selama lebih dari 20 tahun menjadi pengemudi Bajaj, ia pernah dirampok satu kali saat sedang istirahat di siang hari. Akibatnya, seseorang kehilangan ponselnya dan harus mengambilnya.

“Saat saya masih tidur, saya terbangun dan ponsel saya hilang. Saya bingung dan tidak tahu siapa yang mengambilnya,” ujarnya.

Selain di halte, ia juga mengingatkan penumpang untuk tidak bermain ponsel selama berada di dalam bus, apalagi saat berada di depan lampu merah. Pasalnya penjemputan ini juga sering terjadi di tengah jalan raya Jakarta yang sangat ramai pengemudi.

Tak hanya itu, ia selalu mengingatkan penumpangnya untuk tidak memberikan uang kepada pengemis atau pencopet. Apalagi jika yang berkepentingan mengeluarkan dompetnya saat ingin memberikan uang.

“Suatu saat Bu, dari Karolus (RS) saya mau ke (stasiun) Pasar Senen. Saya berkata, ‘Nyonya, jika ada yang meminta atau menyanyikan sesuatu, Anda tidak perlu memberikannya kepada saya; dia bilang iya, pas di lampu merah” (dekat Jalan Layang Sennen) malah ada yang nanya, dia keluarin dompetnya dan kasih uang, orangnya (pengamen) bilang ‘dompetnya ada di sini. kantong )”, kata Husen.

“Setelah itu ibu-ibu saling memarahi dan berkata, ‘Nyonya, tolong, dompet saya diambil,’ saya bilang tidak, Bu, dan saya disuruh untuk tidak memberikannya kepada ibu.” . Saya tidak mau terlibat dalam hal seperti itu, karena orang-orang cepat lari ke hutan – “kata mereka, kami tidak tahu apakah ada teman di sana atau tidak, daripada mati bodoh dipukuli atau dibentak pencuri sambil mengejar kita,” tambahnya.

Berbeda dengan sopir Bajaj bernama Muliono (60) yang biasa mangkal di pintu masuk Blok III Pasar Senen. Diakuinya, tidak ada penjahat di kawasan itu dan dia khawatir akan dirampok pada siang hari.

Namun yang patut diwaspadai adalah petugas Dinas Lalu Lintas (Dishub) Kota Jakarta atau Satpol PP yang selalu melakukan penertiban di kawasan tersebut untuk memastikan tidak ada kendaraan atau gangguan terhadap aktivitas masyarakat setempat.

Layaknya pedagang kaki lima yang kerap bertabrakan dengan aparat, Muyono harus rela kabur jika tidak ingin tertangkap. Jika tidak, polisi akan menyita becak yang dikendarainya dan dia harus membayar tilang mahal di kantor polisi.

“Ini (becak yang dikendarainya) ditangkap (ditangkap dan ditangkap polisi) satu kali,” jelasnya. (Das/das)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *