Jakarta –
Read More : Komdigi: 7 Penyelenggara Telko Minat Lelang Frekuensi 1,4 GHz
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjelaskan alasan mengapa revisi UU Penyiaran harus dilakukan. Salah satunya, mereka mengaku kesulitan mencari referensi peraturan dalam undang-undang ketika dihadapkan pada konflik yang terjadi saat ini.
“Setiap konflik penyiaran sulit kita cari referensinya, karena di undang-undang tidak ada. Persyaratan penyiaran saat ini tidak ada di undang-undang yang lama,” kata Koordinator Kelembagaan KPI, I Made Sunarsa, dalam Forum Group Discussion (FGD) ) ) dilaksanakan di AONE Hotel Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Oleh karena itu, lanjut Sunarsa, secara historis dan sosiologis menurutnya penting untuk melakukan revisi terhadap UU Penyiaran. Selain itu alasan lain datang dari kelangsungan hidup Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
“Itu UU Nomor 23 Tahun 2014. Atas undang-undang itu muncul PP 18/2016 yang isinya lho? Tidak membuat CPI di daerah menjadi kongruen. Bayangkan undang-undang ini menghancurkan CPI, lalu terdegradasi karena sudah tidak lagi terlibat di kawasan itu,” kata Sunarsa.
Ia juga mengatakan, KPI memiliki 9 pasal dalam UU Penyiaran tahun 2002 yang diperbaiki dengan UU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya diungkap, seperti pasal 2 dan 33 dihapus, serta pasal 34 direvisi.
Hal ini menghilangkan hampir separuh kewenangan KPI terhadap surat izin penyiaran, ujarnya. Sunarsa mengungkapkan, dulu sebelum televisi mempunyai program siaran baru, harus melalui proses evaluasi.
“Yang terjadi sekarang televisi tidak tahu siarannya dulu. Dulu tidak boleh,” jelas Sunarsa.
Lalu ada penambahan kewenangan dengan digitalisasi penyiaran. Kita tidak bisa sendiri tanpa revisi undang-undang, tambahnya.
Nah, kata dia, di RUU baru itu UU Penyiaran akan direvisi dan kewenangan KPI akan dirumuskan kembali. Sunarsa menegaskan, RUU tersebut tidak hanya membahas tiga pasal yang ada di sini. Di sini mereka juga berbicara tentang penguatan institusi, penguatan penyiaran, dan penguatan rating.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, revisi UU penyiaran melalui RUU baru saat ini belum dibahas di DPR. Dewan Pers meminta agar RUU Penyiaran tidak hanya dihentikan saja, tapi juga dibantu, khususnya pasal-pasal yang memuat kebebasan pers.
Tentu bukan hanya ditunda, tapi pasal-pasal yang menekan kebebasan pers juga dihapus, antara lain pasal 8A dan 42 tentang kewenangan KPI dalam penyelesaian sengketa jurnalistik, serta pasal 50B tentang larangan jurnalisme investigatif. – kata Yadi (28/5). Saksikan video “Dewan Pers Tegas Tolak RUU Penyiaran” (HPS/Fay).