Jakarta –

Presiden Prabowo Subianto berencana menumbuhkan perekonomian Indonesia hingga 8% pada masa pemerintahannya. Namun apakah target pertumbuhan sebesar itu bisa tercapai?

Ekonom dan Direktur Institute of Economic Development and Finance (Indef) Tawheed Ahmad menilai target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tidak realistis. Karena masih banyak tantangan yang harus diselesaikan sebelum kita dapat mencapai target pertumbuhan 8%.

“Menurut saya tidak benar, karena ya, targetnya terkesan tinggi, tapi sepertinya mencapai 8% itu tidak realistis,” kata Tawheed kepada detikcom, ditulis Kamis (24/10/2024).

Tauhid mengungkapkan, setidaknya ada lima alasan mengapa ia menilai tujuan tersebut tidak realistis. bermula dari alasan historis atau pengalaman keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika dihadapkan pada situasi politik dunia saat ini.

“Di bawah kepemimpinan Presiden Djokovic, targetnya masih lebih rendah, yaitu 6%, yang belum tercapai. Apalagi ditempatkan lebih tinggi, itu yang pertama,” ujarnya.

Kedua, kita mempunyai kapasitas anggaran yang terbatas. Untuk menstimulus kapasitas anggaran yang terbatas itu, kita membatasi defisit di bawah 3%. Oleh karena itu, cukup sulit mencapai 8% untuk perluasan anggaran dengan APBN yang terbatas, jelasnya. .

Ketiga, Pak Tawheed berpendapat bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, Indonesia harus mendapat dana berupa investasi sekitar 13.000 miliar rupiah dalam bentuk partisipasi asing Thailand (PMA) atau dalam negeri. Modal. Sedangkan target investasi baru Indonesia antara 1.800 – 2.000 miliar USD.

“Kebutuhan investasinya sekitar Rp13.600 triliun, katakanlah Rp13.000 triliun, PMA-PMDN, itu cukup sulit dicapai. Cukup sulit,” jelas Tauhid.

“Rata-rata target investasi kita per tahun Rp 1.800-2.000 miliar, rata-rata Rp 10.000 dalam 5 tahun (di bawah kepemimpinan Prabowo). Jadi kalau mau target (pertumbuhan ekonomi) lebih tinggi dari itu (mencapai 8%), perlu investasi lebih besar,” jelasnya lagi.

Kemudian, menurut dia, tensi geopolitik yang tidak menentu juga menyebabkan ekspor beberapa barang menurun, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat.

Terakhir, Tauhid menilai pertumbuhan daya beli masyarakat yang masih tergolong rendah menjadi alasan lain mengapa pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dinilainya tidak realistis. Belum lagi melemahnya sektor industri belakangan ini yang semakin mempersulitnya.

“Terakhir dari segi daya beli masyarakat, menurut saya bermasalah karena pertumbuhannya hanya 2,5% dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, dari sisi industri, industri-industri pendukung perekonomian kita memang benar-benar mengalami kemerosotan. Pertumbuhannya setara. Di bawah 5%, untuk tumbuh 8%, pertumbuhan industri juga harus 8%. Yah, itu sulit,” katanya.

Senada, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Rizal Tawfiqurahman juga meragukan kemampuan pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%. Apalagi, menurutnya, belum ada terobosan politik yang mampu meningkatkan perekonomian nasional secara signifikan.

“Kalau mau mencapai 8%, katakanlah 5 tahun ke depan, lalu apa yang bisa meningkatkan (pertumbuhan ekonomi Indonesia) sampai 8%?” kata Rizal.

Menurut Rizal, alih-alih tumbuh, banyak “mesin” penggerak perekonomian Indonesia yang justru terpuruk. Misalnya dari pertanian, industri, dan jasa.

“10 tahun terakhir ini mesin perekonomian kita sangat lemah. Produktivitas menurun, terbukti dengan segala faktor negatif di sektor pertanian, industri juga menurun terutama di bidang jasa,” jelasnya.

Meski program gizi gratis yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah signifikan bagi perekonomian Indonesia selain meningkatkan gizi anak, dirasa belum cukup untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%.

Sebab menurut perhitungan Indef, dampak program makan lengkap gratis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,06% atau setara Rp14 triliun. Nilai pertumbuhan ini juga dihitung berdasarkan asumsi bahwa proyek tersebut sesuai target. Artinya, ada kemungkinan proyek ini tidak mampu mendongkrak perekonomian Indonesia untuk tumbuh sebesar 0,06%.

“Jadi junk food itu pasti akan membangun perekonomian. Perhitungan kita pertumbuhan ekonominya 0,06%. PDB kita tumbuh 0,06% atau sekitar Rp14 triliun,” kata Rizal.

Jadi Rp 14 triliun itu dari semua sektor ya. Tadinya sektor pangan, sektor susu, industri bahan susu. Lalu transportasi atau logistik, dan terkait pekerjaan (penyerapan), jelasnya lagi.

Simak Videonya: Prabowo Yakin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Capai 8%, Kata Airlangga

(fdl/fdl)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *