Jakarta –
Media sosial dihebohkan dengan kasus resistensi atau “resistensi” terhadap antibiotik. Kondisi ini membuat bakteri dalam tubuh manusia semakin kuat sehingga memerlukan pengobatan lebih lanjut.
“Kepada semua pasien, saya minta maaf jika ada rasa tidak nyaman dan ‘iritasi’ dengan antibiotik jika tidak ada indikasi. Kalau iya, obat apa yang ingin Anda coba?”
Orang yang menderita resistensi antibiotik (AMR) dalam hal ini bakterinya harus menjalani pengobatan yang lebih spesifik. Resistensi antibiotik merupakan masalah serius yang mengancam efektivitas pengobatan penyakit menular.
Guru Besar Epidemiologi Wiku Adisasmito menekankan, jika masalah ketahanan tidak segera diatasi dan serius, hal ini bisa menjadi “epidemi” baru bagi umat manusia.
“Ngomong-ngomong, fokus saya di AMR dan AMR bisa jadi pertanda pandemi baru di masa depan. Tapi ini masih jauh dari selesai, tapi kalau sudah terjadi, akan sulit untuk kembali lagi,” kata Wiku saat dihubungi . Oleh detikcom. Selasa (24/9/2024).
“Karena kita mengandalkannya dan masih resilien (sulit diterima),” ujarnya.
Menurut situs Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Dr. Azhar Jaya mengatakan Indonesia saat ini menghadapi peningkatan resistensi antimikroba pada dua jenis bakteri tersebut.
“Data AMR di Indonesia berdasarkan data laporan rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan. 20 adalah 68%”. Dia berkata. Dr.Azhar.
“Kemudian pada tahun 2023, di 24 rumah sakit pusat akan tercapai 70,75% dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52%. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan ketahanan terhadap virus Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.”
Berikutnya: Apa Penyebab Peningkatan Resistensi Antibiotik?
(dpy/kna)