Jakarta –
Plt Deputi Direktur Pengawasan Makanan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Emma Setiawati mengatakan, ada tujuh penyakit yang terkait dengan risiko kontaminasi senyawa kimia bisphenol A (BPA) pada galon yang dapat digunakan kembali.
Ketujuh penyakit tersebut antara lain penyakit sistem reproduksi pria dan wanita, diabetes dan obesitas, penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal, kanker, gangguan perkembangan kesehatan mental, dan gangguan spektrum autisme masa kanak-kanak (ASD).
“Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan BPA melalui mekanisme yang mengganggu endokrin menimbulkan risiko kesehatan,” kata Emma dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8/2024).
Emma mengungkapkan, pemerintah mengantisipasi dampak kesehatan tersebut dengan mengeluarkan kebijakan pelabelan BPA. Berdasarkan risiko kesehatan, konsumsi, dan data produk yang beredar, BPOM menilai pelabelan air minum dalam kemasan harus segera dikendalikan, ujarnya.
BPOM juga menyetujui penambahan dua klausul baru tentang pelabelan pangan olahan pada 5 April 2024. Pasal ini membahas mengenai pelabelan cara penyimpanan air minum dalam kemasan (Pasal 48a). Selain itu, semua galon air minum dan merek yang menggunakan kemasan polikarbonat wajib mencantumkan label peringatan bahaya BPA (Pasal 61A).
Setelah masa tenggang penerapan aturan tersebut berakhir pada tahun 2028, produsen yang menggunakan kemasan polikarbonat harus menggunakan label peringatan: “Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA ke dalam botol air minum.”
Risiko menggunakan kembali alpukat
Emma menjelaskan, sebagian besar botol galon bermerek yang beredar di masyarakat terbuat dari bahan polikarbonat, sejenis plastik keras yang bahan bakunya BPA. Galon dan wadah plastik polikarbonat juga biasanya didistribusikan melalui sistem “penggunaan kembali”, dengan produsen secara berkala membersihkan galon kosong di pabrik, mengisi ulang, dan memasarkannya kembali.
Selain itu, Emma mengungkapkan bahwa BPA dapat mengkontaminasi galon yang dapat digunakan kembali jika proses pencucian dan distribusi galon tersebut “buruk”. Prosesnya melibatkan produsen melakukan penyemprotan pada suhu tinggi, menggunakan deterjen atau menggosok bagian dalam galon hingga kering, dan menjemur galon di bawah sinar matahari langsung dalam jangka waktu lama saat dikirim ke konsumen.
“Penggunaan wadah galon secara berulang-ulang dapat menyebabkan migrasi/lepasnya BPA,” ujarnya.
Oleh karena itu, EMA mendorong industri untuk memantau keamanan pangan dan kondisi pengemasan secara berkala dan independen serta menerapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) secara konsisten.
Dalam Peraturan Pelabelan Pangan Olahan, BPOM mewajibkan produsen galon bermerek untuk mematuhi ambang batas aman perpindahan BPA dari kemasan polikarbonat sebesar 0,6 mg/kg BPA. Kajian komprehensif BPOM tahun 2021-2022 menemukan bahwa kontaminasi BPA pada galon air minum dan kemasan plastik polikarbonat “menunjukkan tren yang mengkhawatirkan,” dengan lima provinsi mencatat tingkat migrasi BPA di atas batas aman.
Senada, peneliti polimer di Lembaga Penelitian dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Meski penggunaan BPA pada galon polikarbonat membuat galon lebih kuat dan tahan panas, namun masih ada potensi BPA berpindah dari kemasan ke air minum, kata Akbar Hanif.
“Hanya jika bahan kemasan terbuat dari polimer polikarbonat maka potensi migrasi BPA terjamin,” jelasnya. “BPA bisa masuk ke dalam tubuh dan mempengaruhi fungsi hormon.”
Sementara itu, Pandu Riono, ahli epidemiologi Universitas Indonesia, menyatakan BPA telah lama menjadi bahan kimia yang mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem endokrin. Menurutnya, BPA bisa berdampak pada kesehatan segala usia, termasuk janin sebelum dilahirkan.
“Industri yang menggunakan wadah makanan dan minuman berbahan plastik yang mengandung BPA wajib beralih ke wadah yang lebih aman dan bebas BPA,” tutupnya. “BPOM kini mewajibkan label BPA pada air kemasan” (prf/ega)