Jakarta –
Direktorat Jenderal Pemilu dan Pajak (DJBC) Kementerian Keuangan akan memberikan pembebasan pungutan luar negeri dan pajak lainnya kepada Sekolah Luar Biasa (SLB)-A Pembina. Kasus ini membuat heboh karena materi pembelajaran OHFA Tech, Korea Selatan (Korsel) tertunda karena dikenakan biaya ratusan juta.
Kepala Kantor Pajak Bandara Soekarno-Hatta Gatot S Wibowo mengatakan, pihaknya sedang melakukan negosiasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta agar barang tersebut memenuhi syarat pembebasan barang dan pajak lainnya.
“Saat ini kami sedang menjalin komunikasi yang sangat baik dengan Dinas Pendidikan DKI untuk memenuhi syarat pembebasan pajak bumi dan bangunan dan pajak lainnya,” kata Gatot kepada detikcom, Minggu (28/4/2024).
Salah satu guru SLB, Rizal, tampak lega karena ada kesempatan kelasnya mendapat bantuan 20 keyboard. Mulai Senin (29/4), pihak sekolah akan menyurati Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk meminta permohonan pengecualian dari bea masuk dan pajak lainnya.
“Alhamdulillah sudah ada solusinya. Insya Allah mulai Senin pihak sekolah akan menyurati beberapa surat ke Kementerian Pendidikan untuk meminta surat permohonan gratis. Terima kasih,” cuitnya di X atau Twitter. .
Permasalahan ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turun tangan. Bendahara Negara mendatangi Kantor Pusat Pelayanan Pajak Soekarno-Hatta pada Sabtu (27/4) untuk menggelar rapat koordinasi.
Terkait hal tersebut, Sri Mulyani mengatakan, barang tersebut sebelumnya dilaporkan sebagai barang konsinyasi oleh Perusahaan Jasa Konsinyasi (PJT) pada 18 Desember 2022. Barang tersebut dikenakan biaya ratusan juta karena ditetapkan sebagai barang tidak terkendali (BTD). . Itu kemudian menjadi hadiah.
Belakangan (di media sosial Twitter/X) diketahui bahwa barang yang dikirim merupakan barang sumbangan Bea dan Cukai untuk disumbangkan kepada lembaga pendidikan yang bersangkutan, kata Sri Mulyani Kronologi Peristiwa.
Rizal menyampaikan keluh kesahnya di media sosial karena barang taptilo milik SLB yang merupakan sumbangan perusahaan asal Korea Selatan disita Kantor Bea dan Cukai di Bandara Soekarno-Hatta. Saat pemilik rekening ingin menagih asetnya, yang bersangkutan dikenakan denda ratusan juta rupee dan penitipan per hari.
“SLB saya juga mendapat bantuan dari perusahaan Korea untuk materi pembelajaran bagi tunanetra, ketika saya ingin menjemput mereka di bea cukai Soetta, mereka menyuruh saya membayar ratusan juta mulai tahun 2022. Percuma tinggal di sana tanpa membayar, juga tidak ada gunanya. itu berguna,” katanya.
Produk dikirim dari OHFA Tech asal Korea Selatan pada tanggal 16 Desember 2022 dengan nama penerima tingkat nasional SLB-A Pembina, Jakarta. Barang tiba di Indonesia pada 18 Desember 2022, namun diblokir bea masuk.
Dalam pernyataan terlampir, bea cukai memerlukan dokumen tambahan untuk memproses barang dan mendapatkan harganya. Dokumen tersebut menyertakan tautan pemesanan yang mencakup harga, spesifikasi, dan deskripsi setiap item.
Kemudian, invoice atau bukti pembayaran yang disertifikasi oleh bank, daftar harga, foto dan detail setiap barang, serta nilai barang. Selain itu, dokumen lain juga diperlukan untuk mendukung penetapan tersebut.
Sekolah telah menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai persyaratan. Sebenarnya item ini merupakan prototype yang masih dalam tahap pengembangan dan merupakan item hadiah jadi belum ada harganya.
“Setelah itu kami mendapat email tentang penetapan nilai barang sebesar US$ 22.846,52 (kurs Rp 15.688) Rp.
Dokumen yang dimaksud antara lain:
1. Bukti perjanjian pembayaran PIBK (Estimasi pekerjaan tanpa NPWP = Rp 116.616.000. Biaya dibebankan kepada pengirim 2. Lampiran surat kuasa 3. NPWP lampiran sekolah 4. Lampiran bukti Kwitansi pembayaran pembelian barang yang sah (Bukti pembayaran melalui Bank/Kredit PayPall/Western Union).5 Konfirmasikan bahwa barang tersebut baru/bukan baru.
Pihak sekolah juga tidak bersedia membayar pajak tersebut karena harta tersebut merupakan hibah untuk bahan pendidikan bagi siswa tunanetra. Sekolah mengirimkan dokumen lain.
Kemudian sekolah menerima email yang menyarankan agar mereka dapat memperbaiki masalah tersebut dengan mengisi beberapa dokumen. Proposal ini telah diterima, namun belum diterima.
“Setelah sekian lama bekerja, kami kembali menerima email yang memberitahukan bahwa barang tersebut akan dipindahkan ke gudang. Setelah itu, barang tersebut sulit untuk diproses kembali karena mengharuskan sekolah membayar pajak yang telah dihitung sebelumnya,” dia berkata.
Direktur SLB-A tingkat nasional menghubungi OHFA Tech untuk berkoordinasi, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meminta bantuan. Tak ada pula kebaikan dari kasus ini hingga akhirnya menjadi viral. (bantuan / das)