Jakarta –
Read More : Prabowo Bakal Evaluasi Kinerja Menteri-Wamen dalam 6 Bulan!
Kecelakaan Jeju Air yang terjadi pada Minggu (29 Desember 2024) dinilai merusak reputasi maskapai berbiaya rendah (LCC). Wisatawan menjadi lebih cerdas dalam memilih maskapai penerbangan.
Melansir Yonhap News, Selasa (31/12/2024), Jeju Air meledak setelah menabrak tembok beton di Bandara Muan di Jeollanam-do akhir pekan lalu. Dalam kecelakaan ini, hanya dua orang yang selamat dan seluruh penumpang yang berjumlah 179 orang tewas.
Pesawat yang meledak adalah Boeing 737-800 yang digunakan oleh banyak maskapai penerbangan bertarif rendah. Jeju Air mengoperasikan 39 pesawat, sedangkan T’way Air, Jin Air, dan Easter Air masing-masing mengoperasikan 27, 19, dan 10 pesawat.
Seorang pejabat LCC, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan, “Meskipun insiden ini hanya berdampak pada satu maskapai penerbangan, suasana di industri penerbangan menyedihkan.”
“Ada kekhawatiran bahwa permintaan perjalanan akan menurun,” katanya, seraya menambahkan, “Kami memantau situasinya dengan cermat.”
Pejabat maskapai penerbangan lainnya mengatakan bahwa agensi tersebut mengadakan pertemuan darurat pada hari kecelakaan untuk membahas masalah yang mungkin timbul setelah kecelakaan Jeju Air.
“Sepertinya operasional perusahaan kami akan terganggu akibat kejadian ini,” ujarnya.
Pejabat inspeksi kelaikan udara armada lainnya mengatakan, “Sulit untuk menyalahkan insiden ini hanya pada jenis pesawatnya saja, namun ada kekhawatiran mengenai pemilihan pesawat LCC dan model serupa lainnya.”
Banyak pengamat penerbangan melihat kecelakaan itu sebagai pendorong untuk meningkatkan keselamatan penerbangan dan meningkatkan kinerja pendaratan.
Menurut catatan layanan pelacakan penerbangan Flightradar24, pesawat Jeju Air yang jatuh menyelesaikan 38 penerbangan pada pekan lalu.
Sehari sebelum kejadian hari Minggu, maskapai ini menutup enam rute, termasuk pemberhentian di Kinabalu, Nagasaki, Taipei, Bangkok dan Muan.
Kekhawatiran muncul bahwa jadwal penerbangan yang sibuk dapat menyebabkan maskapai penerbangan memprioritaskan operasi untuk memberikan waktu yang cukup untuk perbaikan, sehingga membahayakan keselamatan.
Lee Yun-cheol, seorang profesor administrasi bisnis di Korea Aerospace University, mengatakan, “Selama periode kekerasan, permintaan perjalanan udara turun 5 hingga 10 persen dari tingkat sebelum corona, namun baru-baru ini pulih.”
“Maskapai penerbangan perlu melakukan perubahan pesawat secara besar-besaran untuk memenuhi peningkatan permintaan selama masa transisi ini. Kekhawatiran mengenai standar keselamatan yang tetap sama seperti sebelumnya adalah wajar,” tambahnya. Tonton video “Video: 68.000 reservasi penerbangan dibatalkan karena kecelakaan Jeju Air” (fem/fem)