Jakarta –
Read More : Spesifikasi Suzuki Gixxer SF250 Baru: Mesin Ramah Lingkungan, Rem ABS
Industri penerbangan di Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan yang signifikan pada paruh kedua tahun 2024. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal seperti tingginya biaya operasional yang dibutuhkan maskapai penerbangan dan kondisi bisnis yang kurang mendukung.
“Dalam masa pemulihan pasca perawatan di rumah sakit, para pelaku perjalanan Indonesia kini menghadapi situasi yang sangat sulit, dimana tingkat profitabilitasnya lambat,” kata Direktur Penerbangan Gatot Rahardjo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/10/2024).
Misalnya saja pada semester I-2024, AirAsia Indonesia merugi Rp 1,29 triliun, meningkat hampir 7 kali lipat (643,92%) dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 174,21 miliar.
Sementara itu, Garuda Indonesia masih beruntung masih mencatatkan pertumbuhan operasional sebesar 32,88% year-on-year menjadi $76,50 juta per Juni 2023.
Padahal, menurut dia, paruh pertama tahun 2024 merupakan waktu puncak pemberangkatan. Ada banyak hari raya diantaranya Idul Fitri (Ramadhan dan Layya) yang berlangsung selama sebulan dan liburan sekolah untuk anak-anak.
Ada juga musim pemilu yang meningkatkan jumlah orang yang melakukan perjalanan antar kota dan pulau, beberapa di antaranya adalah penggunaan layanan bandara.
Saat ini pada Semester 2 masa puncaknya hanya sebatas Natal dan Tahun Baru. Oleh karena itu, jika banyak maskapai penerbangan yang mengalami kinerja lemah pada periode ini, kemungkinan besar industri penerbangan Indonesia akan sepi hingga sisa tahun 2024.
“Ya, situasi dunia usaha saat ini kurang baik, dan jika tidak ditangani, kecil kemungkinan dampaknya akan lebih buruk.
Dijelaskannya, dari laporan laba rugi terlihat kerugian tersebut melebihi pendapatan akibat pengeluaran. Gatot menambahkan, “Biaya besar yang pertama adalah biaya bahan bakar, yang bisa mencapai 30% dari biaya full service maskapai atau 50% dari biaya maskapai. Di atas LCC,” kata Gatot.
Kedua, biaya perawatan 16%, termasuk pembelian suku cadang. Ekspor produk tersebut masih membutuhkan waktu lama, dan sebagian besar masih dikenakan pajak yang tinggi dari luar negeri.
Ia juga mengatakan, segmen terbesar ketiga adalah sewa pesawat sebesar 14%. Jika dijumlahkan ketiga harga tersebut, maka sekitar 60% maskapai full service, namun bisa mencapai 80% maskapai LCC. Tentu saja kenaikan harga akan mempengaruhi kenaikan biaya transportasi udara secara keseluruhan.
Sayangnya, biaya-biaya tersebut juga terkait dengan nilai tukar dolar AS, seiring naiknya harga dolar, maka harganya pun ikut naik karena pendapatan maskapai dalam bentuk batu rubi, jelasnya.
Selain harga barang, Gatot menilai penyebab lain hilangnya penerbangan adalah lingkungan bisnis yang buruk. Karena tarif penumpang terus meningkat, tarif yang diamanatkan pemerintah belum dinaikkan sejak tahun 2019.
“Akibatnya, pendapatan perusahaan tidak terbatas, tidak mampu membayar tagihan-tagihannya, sehingga tidak diragukan lagi akan dirugikan. Selain itu, terjadi pula persaingan tidak sehat karena terdapat sekelompok maskapai penerbangan yang mempunyai pangsa pasar yang besar sehingga dapat menguasai maskapai tersebut. pasar,” katanya.
Simak Video: Dari Tambahan Judul, RI Tingkatkan Rating Maskapai 88,5% dari ICAO
(jam/jam)