Jakarta –

Read More : Mentan Pamer Produksi Pangan Melesat Meski Ada El Nino-La Nina

Pemerintahan baru Indonesia yang dipimpin oleh Prabowo-Gibrani menghadapi banyak tantangan di bidang perekonomian. Tantangan-tantangan ini berkisar dari impor hingga subsidi energi.

Pemerintahan baru disarankan untuk segera menilai kapasitas fiskalnya guna menghadapi risiko dinamika perekonomian saat ini, terutama meningkatnya ketegangan geopolitik saat ini. Salah satu faktor penting yang harus diwaspadai adalah subsidi dan impor minyak dan gas (migas).

Tentu sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperhatikan beban subsidi energi. Saya pernah mengingatkan, ada tiga indikator yang muncul dari situasi global saat ini, kata pengamat ekonomi Yanuar Rizky (2), Kamis. . /5/2024).

Tiga indikator yang disebutkan adalah pertama, harga pangan khususnya harga beras yang bisa dan mulai naik. Yang kedua adalah harga energi dan yang ketiga adalah nilai tukar (exchange rates). “Karena Jepang juga mempunyai rencana untuk keluar dari suku bunga negatif. Ingin membalikkan kebijakannya yang sudah hampir dua dekade. Ketiga faktor ini akan berdampak besar pada kondisi saat ini menjelang kurva tahun 2024,” lanjutnya.

Khusus terkait energi, Yanuar menjelaskan kemungkinan kenaikan harga tidak hanya karena geopolitik, tapi juga politik Amerika Serikat (AS). “Setiap ada pemilu di Amerika, karena donor politik terbesar Amerika adalah minyak dan gas, harga minyak cenderung naik,” jelasnya.

Kenaikan harga energi akan memberikan tekanan yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, sehingga perlu dilakukan perencanaan ke depan. Sebab di satu sisi Indonesia masih mengimpor minyak dalam jumlah besar, baik minyak mentah maupun bahan bakar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini melaporkan bahwa impor minyak Indonesia masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena produksi dalam negeri hanya 600.000 barel/hari, sedangkan impor 840.000 barel/hari, maka rinciannya 600.000 barel bahan bakar dan 240.000 barel minyak mentah.

Pada saat yang sama, selain tingginya volume impor dan risiko kenaikan harga, pemerintah juga harus memikirkan dampak subsidi terhadap masyarakat, khususnya subsidi bahan bakar.

“Selain situasi saat ini, pemerintahan baru harus menilai apakah bisa terus melakukan belanja fiskal di dunia seperti itu atau tidak. Kalau kemarin masih bisa memberikan berbagai subsidi, kini geopolitik semakin buruk yang berujung pada krisis. faktanya anggaran yang tertutup mempersempit ruang,” Yanuar mengingatkan.

Padahal, selama ini pemerintah Indonesia tidak hanya memberikan subsidi yang berdampak langsung kepada masyarakat, seperti harga BBM bersubsidi. Namun ada juga program pendukung yang dampak positifnya tidak langsung dirasakan masyarakat, seperti program harga gas industri rendah yaitu harga gas bumi perorangan (HGBT). “Dukungan bantuan keuangan semakin berkurang, baik itu dukungan, bantuan keuangan, dan sebagainya,” tegasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor migas pada tahun 2023 sebesar $35,830 miliar atau sekitar Rp579,9 triliun. Bahan bakar minyak sebanyak 27,373 juta ton, minyak mentah sebanyak 17,835 juta ton, dan gas sebanyak 6,934 juta ton. Meski khusus gas terjadi surplus, namun pada saat yang sama gas diekspor sebanyak 15,498 juta ton.

Sementara itu, hingga Maret 2024, impor migas senilai USD 9,004 miliar atau sekitar Rp 145,7 triliun pada tahun ini.

Penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah yang saat ini berada di kisaran Rp16.000,- dapat semakin memperburuk peningkatan risiko subsidi dan kenaikan harga impor energi. (mengatakan)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *