Jakarta –
Tingkat kesuburan Thailand juga menurun. Angka kesuburan total (Total Fertility Rate/TFR) tahun lalu sebesar 1,08, terendah kedua di Asia Tenggara setelah Singapura sebesar 0,97.
Bukti obyektif dapat diperoleh dari kenyataan bahwa banyak orang yang tidak ingin memiliki anak setelah menikah. Misalnya saja Ira Kitpiniochai dan Buntrika Namsena, pasangan yang sudah empat tahun menikah namun tak pernah terpikir untuk memiliki anak. Mereka mengaku akan sangat senang bisa merawat 11 ekor kucing tersebut.
Rupanya ada kesepakatan untuk tidak menjadi orang tua sebelum menikah. Menurut mereka, karena mahalnya biaya, waktu dan anggaran pendidikan, anak mempunyai tanggung jawab yang besar.
“Padahal sebagian besar waktu kami di kantor adalah 10 hingga 12 jam (sehari),” kata manajer logistik Buntarika.
“Bagaimana kita punya waktu untuk merawat anak-anak kita?”
Di sudut lain dunia bisnis Thailand, Anchali Chachanwijit, direktur eksekutif Asosiasi Pemasaran Thailand, berpendapat bahwa keadaannya tidak jauh berbeda.
Karena tuntutan kehidupan profesionalnya begitu berat, membesarkan anak tampak seperti sebuah tugas dengan tambahan tuntutan energi, uang, sumber daya, dan waktu yang tidak ia miliki.
“Saya tidak ingin punya anak karena hidup saya sudah cukup sulit,” katanya kepada Insight.
Berdasarkan survei National Institute for Development Management pada September lalu, 44 persen responden menyatakan tidak ingin memiliki anak.
Alasan utama yang dikemukakan adalah biaya pengasuhan anak, kekhawatiran terhadap dampak kondisi sosial terhadap anak dan tidak ingin terbebani dengan pengasuhan anak.
Wakil Perdana Menteri Sumsk Tepsutin memperingatkan bahwa jika negaranya terus menghadapi masalah ini, populasinya bisa berkurang setengahnya dalam 60 tahun, dari saat ini 66 juta menjadi 33 juta.
Meskipun penurunan tingkat kesuburan merupakan fenomena global, Thailand akan menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tonton video “Thailand Larang Ganja Non-Medis Lagi” (Neff/Neph).