Jakarta –

Taksi perahu merupakan salah satu kegiatan rekreasi di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Namun kini kehidupan mereka terlupakan dan kini harus hidup di dekat garis kemiskinan karena tidak ada pembeli.

Bakar (78) yang merupakan seorang tukang ojek di kawasan tersebut mengatakan, layanan yang telah berjalan lebih dari 32 tahun ini pada awalnya sangat menjanjikan. Pasalnya, stasiun Sunda Kelapa saat itu sedang ramai sekali.

Kondisi ini terjadi sekitar tahun 1970-2013, konon bisa terjadi lebih dari 7 kali dalam sehari. Berkat ini, kantong Anda selalu penuh.

“Tahun 70an dan 80an masih di sini. Banyak orang yang naik lewat (dari pelabuhan) ke pasar ikan (Area Pasar Ikan Ode Batang atau Kampung Akuarium). Dulu perahu dan pekerja lewat,” kata Bakar saat kemarin (23/04/2024) ditemui detikcom.

“Kalau siang hari tasnya tidak kosong sampai capek mengayuh, zaman dulu perahunya tidak pakai mobil,” jelasnya lagi.

Seiring berjalannya waktu, wisatawan lokal dan mancanegara mulai meninggalkan layanan ojek perahu ini. Keadaan ini semakin parah sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia sehingga ia harus berhenti bekerja sebagai taksi kapal selama kurang lebih dua tahun.

Untungnya, setelah pembatasan dilonggarkan, Anda bisa naik perahu lagi. Namun kini, Anda hanya bisa mendapatkan satu atau dua pelanggan dalam seminggu. Kalaupun memang ada pelanggannya, karena kebetulan dalam seminggu tidak mendapat pelanggan sama sekali.

“Saya menggambar seminggu sekali atau dua kali, kalaupun pernah. Entahlah, kadang saya tidak paham sama sekali,” kata Bakar.

Bahkan, Bakar biasanya mematok harga Rp 100.000 per pompa. Namun ada kalanya pelanggan meminta diskon sehingga pendapatan armada kurang dari jumlah tersebut.

“Biasanya Rp 100.000, kita bawa ke pemadam kebakaran di sana. Tapi kadang ada yang minta diskon. Jadi kadang harganya di bawah itu. Paling rendah sekarang Rp 70.000,” jelas Bakar.

Hal serupa juga dirasakan oleh sopir taksi lainnya bernama Lupi (61). Ia yang sudah berlayar sejak tahun tujuh puluhan ini mengatakan, selama itu banyak perahu dan warga sekitar yang menggunakan jasanya.

Namun keadaan tersebut berubah sejak kawasan sekitar pasar ikan dibangun dengan implan. Dia juga mengatakan bisa mendapatkan satu atau dua pelanggan dalam seminggu.

“Ya kita di sini untuk menjaring pelanggan. Kalau buat saya ada, kalau ada lagi, maka untuk Pak Bakar. Jadi sama pelanggannya,” jelas Lupi.

Anda juga mendapatkan tarif sekali jalan yang sama seperti Bakar. Maksimal “diskon” yang bisa diberikan kepada pelanggan dalam satu perjalanan adalah Rp 30.000, jadi Rp 70.000 per perjalanan

Kalau dihitung-hitung, baik Bakar maupun Lupi bisa menambah kendaraan delapan kali lipat dalam sebulan. Jika dihitung harga maksimal yang ada, dalam satu bulan kapal-kapal tersebut hanya memiliki pendapatan bulanan sebesar Rp 800.000.

Sementara itu, Bakar dan Lupi seringkali tidak mendapat banyak ide dan uang. Jadi bisa dikatakan posisi mereka mendekati kemiskinan saat ini.

Sebab menurut data terkini BPS, garis kemiskinan nasional pada tahun 2023 adalah Rp550.458 per orang per bulan. Sedangkan garis kemiskinan di DKI Jakarta sebesar Rp792.515 per orang per bulan.

Garis kemiskinan merupakan jumlah minimal kebutuhan pangan dan non pangan yang harus dipenuhi agar tidak tergolong miskin. Jadi mereka yang rata-rata pendapatan bulanan per orangnya di bawah normal, tergolong miskin.

Artinya, mereka yang tidak mempunyai pendapatan lebih tinggi dari tersebut dapat digolongkan miskin. Sebab jika pendapatannya di bawah itu, berarti mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup sesuai standar tersebut.

Situasi itulah yang kini dirasakan para pengemudi perahu di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebab pendapatan bulanan tertinggi kurang dari Rp 800.000 atau mendekati garis kemiskinan. (rd/rir)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *