Jakarta –

Ondel-ondel sepertinya memiliki dua wajah berbeda di Jakarta. Menjadi ikon budaya, namun juga menjadi alat untuk mengemis atau meminta-minta di jalanan.

Mengundang “ondel-ondel” berkeliaran di jalanan bukanlah hal baru. Ada pro dan kontra, termasuk para seniman ondel-ondel itu sendiri.

DetikTravel berkesempatan mengunjungi salah satu pabrik pembuatan ondel milik Setu Babakan, Galeri Betawi Online. Selain meninjau proses pembuatannya, tim detikTravel juga menanyakan harapan para perajin terhadap budaya ondel-ondel jelang HUT Jakarta tahun 2024.

Wawang Sunarya, pembuat topeng Ondel-ondel, tidak bisa menerima Ondel-ondel dijadikan alat pertunjukan jalanan. Ia khawatir pertunjukan jalanan akan mencemari budaya “ondel-ondel”.

Ia menilai ondel-ondel memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi dan tidak boleh diremehkan sebagai alat mencari uang di jalanan.

Saya berharap ondel tidak digunakan untuk pertunjukan jalanan, saya sangat tidak suka melihat orang bernyanyi dengan ondel di pinggir jalan. Semoga kita bisa lebih bijak dalam memanfaatkannya, kata Wawang saat diwawancarai detikTravel, Rabu (19 Juni 2024). )

Begitu pula dengan perusahaan suvenir asal Jakarta, Mohamad Ardiansyah, yang tidak setuju dengan ondel yang digunakan untuk pertunjukan jalanan. Namun karena minimnya lapangan kerja di bidang seni dan budaya Badawi, para pengamen ondel-ondel tersebut mungkin tidak lagi tahu cara mencari nafkah selain melawan ondel-ondel.

“Kalau saya pribadi kurang bagus karena kita punya budaya dan harus kita jaga karena secara historis kalau kita mengamen tidak terlalu bagus,” kata Aldi.

“Kembali ke kita kenapa mereka begitu sibuk, karena saat ini acara ondel-ondel sudah jarang diadakan. Agar bisa tetap eksis, mereka perlu mencari uang, makanya mereka sibuk,” ujarnya. .

Padahal, kata Aldi, kehadiran ondel-ondel di jalanan menjadi pertanda budaya Betawi mulai memudar. Ia menilai masyarakat kurang pengetahuan dan filosofi mengenai ondel-ondel dan budaya Betawi.

Ia yakin jika masyarakat menikmati budaya Betawi, para seniman ondel-ondel akan tetap mencari pekerjaan tetap untuk mengisi kegiatan tersebut sehingga tidak lagi sibuk.

“Karena kita kurang cinta budaya, menurutku iya. Kalau tiap Sabtu dan Minggu ada ajakan khitanan dan nikah, aku malah nggak mau nyanyi,” kata Adi.

“Karena memindahkan ondel-ondel itu berat, apalagi jika dibawa di jalan raya, itu membutuhkan usaha yang sangat besar. Lebih baik mereka tampil minimal satu jam sekali selama 15 menit agar mendapat uang lebih banyak daripada mengamen,” imbuhnya.

Fenomena “ondel-ondel” dalam pertunjukan jalanan memang menimbulkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, kami ingin melestarikan budaya Badawi dan menghormati nilai-nilainya. Di sisi lain, kita juga harus memahami kondisi perekonomian yang memotivasi pelaku melakukan hal tersebut.

Solusi komprehensif dan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi fenomena ini. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budaya Batavi. Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menjaga budaya Batavi, salah satunya dengan memperketat peraturan yang ada.

Faktanya, pengamen ondel-ondel melanggar beberapa aturan, seperti Peraturan Gubernur Nomor 1. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2017 dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 Nomor 8 Tahun 2007. Pelanggar akan dihukum 60 hari penjara dan denda Rs 2 crore.

Dalam beberapa kesempatan, pengamen ondel-ondel harus berhadapan dengan Satpol PP. Oundle disita, tetapi pengangkut tidak punya solusi. Saksikan video “Saat Tempat Sampah Menjadi Taman Ondel-ondel” (fem/fem)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *