Jakarta –
Situasi persampahan di Yogyakarta berdampak pada berbagai aspek, salah satunya adalah pariwisata. Hingga saat ini, banyak sekali penyebab yang menyebabkan sulitnya mengatasi sampah.
Yogyakarta merupakan salah satu tujuan wisata populer di Indonesia. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang tertarik melihat berbagai sisi kota Gadig. Namun, setelah TPA Piyungan ditutup pada Mei lalu, permasalahan sampah justru menimbulkan permasalahan tersendiri.
Sebab, TPA Piyungan dulunya merupakan tempat pembuangan sampah di Provinsi DIY. Penutupan TPA tersebut karena tempat pengolahan sampah sudah tidak mampu lagi menampung sampah.
Hal ini menyebabkan sampah kerap menumpuk dan dibuang di pinggir jalan. Hal ini tentu dapat menjadi citra buruk bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Banyak hal yang masih menjadi kendala, salah satunya terkait kesiapan daerah dalam menangani sampah secara desentralisasi.
“Setelah sepuluh tahun, (TPA Piyungan) ditutup, lalu dipindahkan ke kota lain. Nah, sepertinya kota dan kabupaten belum siap,” kata Pj Wali Kota Yogyakarta Sangi Raharjo dalam pengarahan mingguan tersebut. Sandy Uno (WBSU) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang turut serta secara daring, Senin (12/8/2024).
Selain kesiapsiagaan, permasalahan lain juga dialami khususnya di Kota Yogyakarta terkait keterbatasan lahan dan kepadatan penduduk.
Apalagi Kota Yogyakarta yang luasnya hanya 32,8 kilometer persegi, padat penduduknya. Kalau harus mengelola sampah sepertinya akan sangat sulit karena tidak ada lahan, tambahnya. . dikatakan.
Hal berikutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah menciptakan budaya pengelolaan sampah di masyarakat. Sebab menurutnya, pengelolaan sampah memerlukan tindakan dari banyak pemangku kepentingan. Selain itu, menurutnya, insentif dan disinsentif bagi pelaku wisata juga diperlukan dalam penerapan pengelolaan sampah.
“Tidak mudah untuk menciptakan budaya atau menerapkan sampah sendiri. Namun hal itu memerlukan dukungan yang luar biasa. Dan saya tidak pernah berhenti mengunjungi desa wisata, desa wisata, komunitas untuk mengajar karena Kanji sendiri adalah sumber sampah. “Rumah atau RT, RW, kelurahan, kelurahan, kawasan kecil, saya kira itu bagian yang sangat penting,” ujarnya.
Selain itu, Kepala Dinas Pariwisata DIY Agus Parano mengatakan aspek pariwisata menjadi penopang utama sektor perekonomian Yogyakarta. Oleh karena itu, permasalahan sampah mempunyai dampak yang besar terhadap industri.
“64 persen perekonomian DIY ditopang oleh dua sektor utama. Pertama pariwisata, dan pendidikan. Pariwisata merupakan tulang punggung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujarnya dalam acara yang sama.
“Kita tentu sepakat, suka atau tidak suka, kalau bicara pariwisata, kita semua sepakat bahwa yang namanya pariwisata berkualitas dan kemudian pariwisata berkelanjutan harus diutamakan. Mau tidak mau isu lingkungan hidup menjadi prioritas, ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pakar Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Adyatama Nia Nisaya mengatakan, selama pemerintah daerah sadar, maka langkah kebijakan penanganan sampah tentu akan dilakukan dengan baik.
“Dulu kita undang ke WBSU karena harus jelas, dan sampah itu penting. Namun di masa lalu mereka sepertinya menyadarinya, setidaknya dengan cara ini, jika masyarakat mengetahuinya maka mereka akan mengetahui langkah apa yang akan mereka ambil. ujarnya. Saksikan video “Yogyakarta punya situasi persampahan, 2 cara atasi sampah” (wkn/fem)