Jakarta –
Resistensi antibiotik merupakan risiko yang serius karena dapat menyebabkan infeksi bakteri menjadi tidak efektif ketika antibiotik diresepkan. Dr Robert Sinto dari Unit Penyakit Tropis dan Menular Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Sipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat, selama dua tahun terakhir, diperkirakan lebih dari 150.000 kematian dilaporkan di Indonesia akibat resistensi antimikroba. .
Artinya setiap 4 menit ada yang meninggal karena antimikroba, jelasnya saat debat publik, Jumat (29/11/2024).
Diperkirakan jumlah kematian akibat resistensi antimikroba di Tanah Air terus meningkat hingga 1 juta setiap tahunnya. Menurut apotek yang menyediakan antibiotik sesuai resep dokter, jumlahnya hanya sekitar 20 persen.
“Semakin sering kita datang ke sini, semakin banyak bakteri yang kebal terhadap antibiotik yang kita miliki. Walaupun penciptaan antibiotik baru sangat-sangat lambat, bayangkan suatu saat nanti anak cucu kita mungkin akan terkena virus atau penyakit sederhana, tapi situasinya sama seperti dulu, saya masih belum punya antibiotik,” lanjutnya.
Dr. Misalnya, pada beberapa kasus kanker dan stroke, penyebab kematiannya adalah karena infeksi bakteri yang tidak merespon antibiotik. Ini berarti Anda menderita lebih dari sekedar penyakit.
Apa itu pemicu?
Penyebab utama terjadinya resistensi antimikroba adalah karena penyalahgunaan antibiotik. Ini dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama, banyak pasien yang sering meminta dokter untuk meresepkan antibiotik dengan dalih agar cepat sembuh.
“Seringkali pasien merasa tidak akan membaik jika tidak diberi antibiotik, sehingga mereka dengan curang meminta antibiotik untuk meredakan nyeri, sehingga sebenarnya tidak ada indikasi diberikan antibiotik,” ujarnya.
Kedua, ada tanda-tandanya, tapi antibiotik yang digunakan tidak sesuai anjuran, lanjutnya.
Bukan hanya hubungan pasien-dokter saja, pengelolaan risiko “epidemi tersembunyi” resistensi antimikroba ini harus diperluas ke departemen dan lembaga lain, mengingat pemicunya adalah penggunaan antibiotik dalam formula pakan ternak. buat mereka. tinggal lebih lama.
Oleh karena itu, tidak mengherankan tidak hanya Kementerian Kesehatan, tetapi juga Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tegasnya.
Belum lagi, praktik pembuangan limbah antibiotik yang sembarangan membuat mikroba di lingkungan “kebal”.
Setelah periode terapi antibiotik
Mengutip temuan para ilmuwan tersebut, dokter anak Arifianto menekankan bahwa akan tiba saatnya dunia, termasuk Indonesia, akan memasuki “era antibiotik”.
“Para ilmuwan telah meramalkan bahwa akan ada masa yang disebut masa pasca antibiotik, masa di mana tidak ada satu pun antibiotik yang berfungsi, kita mungkin tidak merasakannya, tetapi anak cucu kita mungkin merasakannya,” tutupnya. Tonton video “5 tindakan pencegahan saat menangani pasien dengan infeksi AMR” (naf/up)