Jakarta –
Penutupan pabrik sepatu Bata di Purwakarta menuai protes masyarakat. Perusahaan menyatakan tidak dapat melanjutkan produksi di pabriknya karena kurangnya pesanan atau permintaan produksi dari pemasok Indonesia.
Selain itu, Bata juga mencatatkan kerugian selama 4 tahun berturut-turut. Pakar pemasaran Rhenald Kasali menilai krisis ini hanyalah awal dari jatuhnya merek-merek lama yang mengandalkan branding.
“Bagi saya, ini hanyalah awal dari kejatuhan para pemain lama dan patut dikhawatirkan bagi semua orang yang mengandalkan ‘branding’,” ujarnya kepada detikcom, Rabu (8/5/2024).
Rhenald mengatakan saat ini banyak merek lama yang harus berhadapan dengan merek lain yang bisa membaca kondisi pasar. Hal ini terkait dengan desain produk, harga, diskon dan kampanye yang ditawarkan.
“Seluruh kehidupan anak muda (gen Z) dan milenial terbuat dari algoritma. Brand-brand yang ada adalah mereka yang memilikinya dan bisa mengendalikan algoritma untuk menciptakan produk, menetapkan harga dan diskon, mendistribusikan dan mengirim pesan. Tak terlihat,” dia berkata.
Saat ini, Brand Expert sekaligus Managing Partner Inventure, Yuswohady menganalisis adanya perubahan tren antara konsumen milenial dan Gen Z. Menurutnya, Gen Z dan milenial tidak ingin diidentikkan dengan generasi tua.
Namun brand Bata sendiri mirip dengan generasi boomer atau generasi yang lahir pada tahun 1955-1964, dan Gen X atau yang lahir pada tahun 1965-1980. Perdamaian dianggap terlalu sedikit bagi generasi baru.
Meski punya image terkenal dan populer di seluruh dunia, Yuswohady mengatakan hal itu bukan jaminan. Pasalnya, ada kecenderungan generasi sekarang ingin melepaskan diri dari citra generasi sebelumnya.
“Generasi baru tidak selalu mau diidentikkan dengan generasi lama. Saat ini Bata mirip dengan generasi boomer dan Gen serta rambu-rambu lama,” ujarnya.
“Kalau tidak bisa berpindah ke generasi muda, mereka akan mati. Nah, menurut saya, yang saya sebut sebagai disrupsi kaum milenial adalah Bata tidak bisa memperbaharui konsumen dari generasi X dan boomer yang merupakan pelanggan utama mereka 20-30 tahun. yang lalu,” tambahnya.
Ia juga mengatakan, penuaan merek Bata sudah terjadi sejak tahun 1990-an.
“Penuaan merek sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1990-an. Dan yang menarik dari Bata adalah merek global yang biasanya berada di posisi atas, tapi tidak menua dan berada di tengah-tengah. Makanya sebagian besar tokonya ada di kota lapis kedua, di kabupaten-kabupaten,” ujarnya.
Ia juga menegaskan Bata tidak sesuai dengan preferensi konsumen. Kampanye dan iklan di platform digital masih kurang, padahal preferensi konsumen saat ini dipengaruhi oleh konten viral di media sosial.
“Inovasi itu tidak sama dengan milenial, kampanye masih berjalan. Dulu kampanye menggunakan iklan TV atau radio. Sekarang lewat media sosial, viral, TikTok, macam-macam. Dan masih menggunakan yang lama.” Nanti mereka akan tertinggal oleh generasi baru ini,” tutupnya.
Tonton Video: Menteri Perindustrian Ungkap Bata Tutup Toko Pabrik Demi Kinerja Lebih Baik
(dan itu)