Jakarta –
Read More : Prabowo Minta Cabut Permendag Nomor 8, Mendag Mau Jelaskan Dulu
Husen, 52 tahun, duduk diam di depan sebuah toko dekat terminal Manggarai Timur sambil menghisap rokok dengan kopi hitam. Sebelumnya, dia sempat kesulitan mengangkut penumpang.
Nah, Husen adalah seorang driver ulung yang sudah 20 tahun berkeliling Jakarta. Ia mengubah tampilan kendaraan roda tiga dari warna jingga (bensin) menjadi biru (bensin).
Dari pagi hingga sore hari, di bawah terik matahari, Husen yang biasa nongkrong di dekat Stasiun Manggara mencari penjual pertama hari itu pada Kamis (7/4/2024). Sambil menghela nafas lega, ia bercerita kepada detikcom bahwa masa-masa Bajaj kini sudah hampir habis.
Padahal, bajaj sendiri merupakan salah satu angkutan umum yang sudah melintasi jalanan Ibu Kota Jakarta sejak tahun 1975. Artinya kendaraan kondang ini sudah hampir 50 tahun mengangkut penumpang di Jakarta dan sekitarnya.
Bahkan saking populernya, pada awal tahun 2000-an, moda transportasi ini menjadi cikal bakal sitkom populer televisi nasional, ‘Bajaj Bajuri’ Trans TV. Oleh karena itu, mobil ini sering dijadikan sebagai simbol kota Jakarta.
Kehadiran Bajaj sebagai citra Jakarta
Dilansir dari situs resmi BPK Jakarta, bajaj pertama kali digunakan sebagai angkutan di Jakarta atas inisiatif importir India. Nama Bajaj sendiri berasal dari pabrikan kendaraan roda tiga Bajaj Auto.
Namun pada tahun 1980, impor mobil tersebut dari India dihentikan karena jumlah mobil yang masuk ke ibu kota mencapai 13.335. Perahu-perahu yang lewat masih berwarna oranye dan bahan bakarnya sangat sedikit.
Untuk itu, pada tahun 1992, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup mencanangkan program langit biru yang bertujuan untuk menggunakan bahan bakar ramah lingkungan untuk Bajaj. Ringkasnya, gubernur mengeluarkan Keputusan Pergub No. Nomor 141 Tahun 2007 keputusan tentang penggunaan bahan bakar gas oleh angkutan umum dan kendaraan yang beroperasi di Daerah.
Berdasarkan prinsip tersebut, Pemprov DKI berencana mengupgrade 14.424 unit Bajaj oranye secara bertahap. Misalnya, pada tahun 2008, Jakarta berencana meningkatkan 5.000 unit Bajaj oranye menjadi Bajaj biru menggunakan CNG. Sayangnya, 750 Bajaj berhasil diproduksi di tahun yang sama.
Kemudian pada tahun 2011, Pemda DKI mulai mengupgrade Bajaj oranye menjadi Bajaj biru, dan total 2.755 kendaraan diubah menjadi CNG. Kemudian pada tahun 2012, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengadakan lelang program upgrade BBG Bajaj.
Karena program ini, warna masalahnya meningkat pesat dalam satu tahun dan berubah. Dari 14.424 unit Bajaj oranye yang beroperasi di Jakarta, 5.000 unit telah diperbaharui.
Singkat cerita, program pembaharuan bajaj ini terus berlanjut di bawah kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) hingga Basuki Tjahaja Purnama, hingga akhirnya bajaj oranye yang terkenal di Jakarta menghilang dan digantikan oleh bajaj biru.
Sementara itu, catatan detikcom menjelaskan maraknya bajaj di Jakarta tak lepas dari isu penggantian becak dan bemo sebagai alat transportasi umum di ibu kota. Menurut sejarawan Jakarta JJ Rizal, hal itu terjadi pada tahun 70-an.
“Saat itu terjadi kekacauan di angkutan umum, termasuk becak, yang dianggap tidak manusiawi. Sehingga harus dicari alternatif. Saat itulah muncul masalah,” kata JJ Rizal.
Bajaj dengan cepat menjadi simbol kota. Bahkan festival, lokasi syuting, dan siaran MTV menggunakan metafora bajaj, kata JJ Rizal.
Lebih lanjut, JJ Rizal melihat bajaj sebagai simbol kemerdekaan Jakarta. Becak masih melewati kota yang semakin berkonflik, namun itu bukan alasan untuk menghentikan ikon ini.
Melanggar larangan Bajaj seperti tidak mengetahui ikon sejarah Jakarta. Kota ini cenderung elitis dan arogan. Patutnya Gubernur marah jika Bajaj dilarang, kata JJ Rizal.
Kejayaan Bajaj mulai memudar
Meski kendaraan roda tiga ini sudah lama populer di Jakarta, namun popularitas angkutan umum ini semakin menurun. Apalagi ketika aplikasi ojek online mulai hadir di Indonesia.
Situasi ini juga terlihat dari keluhan pengemudi Bajaj seperti Husen. Saking sulitnya ia tidak bisa merawat mobilnya (karena kekurangan uang karena kurangnya penumpang) yang dulunya mempunyai mobil, sehingga ia harus menjualnya untuk mencari nafkah.
“Sebelumnya, memiliki Bajaj hanya memerlukan perbaikan dan menghabiskan biaya lebih dari $3 juta. Jika dijual, harganya akan mencapai $3 juta. Setelah berdiskusi dengan keluarga, Anda menjualnya, dan sekarang Anda menyewanya dari seseorang dan membayar uang setiap hari,” ujarnya.
Pengemudi lain bernama Mulyono (60 tahun), yang biasa nongkrong di dekat Pasar Senen, Jakarta Pusat, juga merasakan absennya penumpang Bajaj. Ada pula sopir bernama Ahyar (65) yang kerap nongkrong di Pasar Tanah Abang.
Awal tahun 2019 ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berkesempatan melihat langsung kondisi pengemudi di Baja yang mulai kewalahan dengan pemesanan taksi online.
Saat berbincang dengan Persatuan Pengemudi Bajaj, para pengemudi mengeluhkan tidak adanya tempat parkir sehingga sulit mencari penumpang. Menanggapi hal tersebut, Menhub tengah berkonsultasi dengan Pemprov DKI Jakarta dan Tangerang untuk mencari solusi bagi pengemudi Bajaj.
“Sebelumnya ada yang bilang tidak ada tempat yang layak bagi mereka di jalan raya nasional, sehingga nanti kita bisa bicara dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Tangerang apa solusi bagi mereka untuk memudahkan pencarian penumpang,” ujarnya. Budi Karya.
“Seperti yang saya sebutkan tadi, yang perlu dipahami adalah pembagian angkutan umum dari angkutan umum ke angkutan umum lain yang layak seperti Bajaj ini,” ujarnya sendiri. (rd/rir)