Jakarta –
Pemerintah melarang penjualan rokok secara eceran dan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan atau sekolah, serta taman bermain anak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 Tahun 2024 sehubungan dengan pelaksanaan ketentuan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Tutum Rahanta, anggota dewan penasihat Gabungan Pengusaha Ritel dan Penyewa Mal Indonesia (Hippindo), menilai pemerintah harus berhati-hati dalam mengatur penjualan. Hal ini untuk menghindari kebingungan dalam pelaksanaannya.
Menurutnya, yang paling adil adalah batasan usia. “Yang paling adil menurut saya adalah batasan usia, supaya tidak terjadi kesimpangsiuran di lapangan. Kalau ada usia, yang jelas, semua bisa kita telusuri, minta identitas dan sebagainya,” tuturnya. katanya. di detikcom, Minggu (4/8/2024)..
Menurutnya, ketentuan tempat mengajar dan taman bermain akan menimbulkan perdebatan (kontroversial). Misalnya taman bermain, definisi tersebut akan menimbulkan perdebatan karena anak bisa bermain dimana saja.
“Masih jadi perdebatan, kalau sekolahnya tidak dipindahkan, tidak masalah. Kalau taman bermain anak-anak, anak-anak akan datang sendiri, bermain di depan halaman kita atau di samping kita di lapangan kosong. Ya, menurutku begitu. hanya diam “Sebelumnya 18 plus sebelum Anda bisa membelinya. Nah sekarang 21, kita perkirakan, tidak masalah,” jelasnya.
Ia mengatakan, aturan ini jika diterapkan akan berdampak luas bagi pedagang kecil atau warung.
“Apalagi kalau masalah ini mau kita sampaikan ke teman-teman kita yang jadi stan ya. Para stan itu akan terpengaruh perasaan saya semua ya, karena memang begitu..kalau mereka menerapkan undang-undang ini, semua orang akan terkena dampaknya. Nah, tapi jangan kita terapkan aturan ini, itu tidak benar,” jelasnya.
Dalam keterangannya, Presiden Aprinda Roy Mandey menyoroti penerapan dari segi zonasi. “Apakah Pemerintah akan mengukur jarak dari tempat penjualan ke satuan pendidikan atau Pemerintah akan membuat zona steril di sekitar satuan pendidikan? Dan pusat pendidikan itu juga tidak jelas definisinya. Apakah hanya sekolah atau kursus? Narasinya tidak spesifik, multitafsir dan jadi karet mata kaki, kata Roy.
Roy melanjutkan, peraturan zonasi ini dinilai kurang tepat solusinya. Alasannya, alih-alih menjalankan bidang penjualan, prioritasnya harus diberikan pada pendidikan berkelanjutan bagi anak-anak. Jika aturan ini diterapkan tanpa adanya perubahan perilaku dan pendidikan anak, maka mereka akan mudah terpapar rokok ilegal.
“Pemerintah sebaiknya fokus memberantas rokok ilegal agar tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Daripada melakukan pembatasan penjualan rokok legal yang menyumbang pendapatan pemerintah sekitar Rp230 triliun,” jelasnya.
Saat ini, kata dia, terdapat kelemahan pada aspek pendidikan sehingga pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan peraturan yang membatasi aspek keekonomian produk tembakau. Padahal, pembatasan penjualan rokok diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 memperketat aturan penjualan rokok.
“Jika aturan 200 meter ini diterapkan, apakah akan menambah deretan produk karet yang dibuat pemerintah? Jika aturan ini diterapkan, apakah rokok ilegal bisa dihilangkan? Rokok ilegal akan lebih banyak dibandingkan rokok legal,” dia dikatakan. katanya. (acd/das)