Jakarta –

Indonesia berambisi menjadi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Tarif pajak yang rendah dianggap penting dalam proses aksesi Indonesia ke OECD.

Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh Forum Internasional LSM Indonesia untuk Pembangunan (Infid) bekerja sama dengan Celios, The Prakarsa, TI Indonesia, PWYP Indonesia dan Migrant CARE. Laporan tersebut menyebutkan tarif pajak Indonesia masih satu kategori dengan negara miskin.

Sayangnya, posisi pajak Indonesia saat ini lebih rendah dibandingkan negara-negara miskin, demikian bunyi penelitian yang dikutip Kamis (25/07/2024).

OECD tertarik untuk meningkatkan pendapatan pajak dari anggotanya untuk membiayai pembangunan. Sayangnya, penerimaan pajak Indonesia dikatakan masih jauh dari potensi yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan, meski secara nominal menunjukkan tren peningkatan.

Angka terakhir menunjukkan tarif pajak hanya 10% dalam 10 tahun terakhir, bahkan belum mencapai 11%. Meskipun kesehatan keuangan Indonesia baik dan tingkat utang relatif aman, rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya akan sebesar 10,21% pada tahun 2023.

IMF (Dana Moneter Internasional) menyatakan bahwa negara seperti Indonesia membutuhkan tarif pajak minimal 12,8% atau 13% untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Saat ini penerimaan pajak Indonesia dinilai masih sangat jauh dibandingkan negara maju, bahkan lebih rendah dibandingkan negara berkembang lainnya, yaitu hampir 20%.

Jika Indonesia bergabung dengan OECD, Indonesia akan menanggung akibatnya dari segi finansial. Pertama, Indonesia harus siap untuk tidak lagi menjadi negara penerima bantuan pembangunan, melainkan negara yang bertanggung jawab memberikan bantuan pembangunan.

Kedua, Indonesia berisiko membayar iuran lebih tinggi dibandingkan beberapa negara di Uni Eropa, karena adanya iuran wajib dan iuran sukarela anggota, yang dihitung berdasarkan skala perhitungan tertentu dan berdasarkan ukuran ekonomi atau PDB.

“Indonesia bisa bergabung dengan klub negara maju seperti OECD. Namun mengingat tarif pajak Indonesia hanya sekelas dengan negara-negara miskin, tentunya memerlukan berbagai upaya keras untuk memperbaikinya,” ujarnya.

Menyikapi masih rendahnya tarif pajak di Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Irlang Hartart mengatakan berbagai upaya terus dilakukan untuk mendorong hal tersebut. Salah satunya dengan penerapan Core Tax Administration System (CTAS) yang akan mulai berlaku pada akhir tahun ini tahun ini.

“Tarif pajak rencananya akan dinaikkan lagi menjadi 12% dari penghasilan. Ya tentu kita juga harus menargetkan pendapatan yang lebih besar dan salah satu yang juga sedang disiapkan Kementerian Keuangan adalah digitalisasi dengan pajak dasar. Nah, sistem dasar perpajakan kita harapkan akhir tahun ini sudah bisa beroperasi,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta Pusat.

Soal rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, Airlangga belum bisa memastikannya. Hal ini akan tergantung pada bagaimana Presiden yang baru terpilih, Probov Subianta, menilai kemungkinan perekonomian daerah.

“(PPN sebesar 12% akan diberlakukan pada tahun 2025)? Kemudian kita akan melihat potensi perekonomian daerah,” kata Airlangga.

(bantuan/hns)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *