Jakarta –
Indonesia bergabung dengan blok ekonomi BRICS sebagai salah satu negara mitra. BRICS adalah singkatan dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, yang menyumbang seperlima perdagangan dunia.
Indonesia disebut-sebut dapat memperoleh sejumlah manfaat dari kemitraan ini, seperti terbukanya peluang kerja sama yang lebih besar di berbagai bidang seperti perdagangan dan pengaruh di kancah politik global.
Namun, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa dalam kemitraan ini, Indonesia tetap perlu menjaga “jarak aman” dari BRICS. Hal ini penting mengingat Indonesia juga berencana bergabung dengan OECD.
Sebab, menurutnya, keberadaan blok ekonomi BRICS bertentangan dengan OECD, mengingat negara-negara anggota blok tersebut kerap berselisih dengan negara-negara Barat yang tergabung dalam OECD.
“Kita tahu OECD dan BRICS sebenarnya agak berselisih. Karena OECD itu negara Amerika dan Eropa kan, padahal kalau BRICS itu ada Rusia, ada China, ada India, Brazil,” kata Hikmahanto. detikcom. Jumat (25/10/2024).
“Tapi kalau misalnya Presiden Prabowo bilang ingin menjaga jarak dan tidak memihak, berarti kita juga bisa bergabung dengan BRICS, kira-kira seperti itu,” jelasnya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah harus mengkaji lebih jauh keterlibatan Indonesia dalam kelompok “anti-Barat” yang dipimpin Rusia dan China agar tidak ikut campur dalam hubungan bilateral atau perdagangan dengan negara lain, termasuk blok ekonomi OECD. .
“Persoalannya kalau kita menjadi anggota OECD, kita tidak bisa bergabung dengan BRICS, atau sebaliknya, jika kita menjadi anggota BRICS, kita tidak bisa bergabung dengan OECD. Karena Indonesia sedang dalam tahap persiapan. untuk bergabung dengan OECD,” katanya.
“Yah, kalau kita bisa memberikan keduanya, misalnya, mengapa hal itu tidak menjadi kepentingan nasional kita?” tambah Hikmahanto.
Terakhir, Hikmahanto menekankan bagaimana Indonesia harus mampu menjaga politik luar negeri yang bebas aktif. Jadi sangat penting bagi pemerintah untuk menjaga jarak aman baik dengan negara BRICS maupun OECD agar Indonesia benar-benar mendapatkan keuntungan dari kedua belah pihak.
“Saya kira ada baiknya juga Indonesia bergabung dengan BRICS agar Indonesia tidak didominasi oleh negara-negara OECD. Indonesia juga bisa menjaga jarak yang sama antara negara-negara yang tergabung dalam OECD dan negara-negara yang tergabung dalam BRICS,” jelas Hikmahanto.
“Yang terpenting kepentingan nasional kita diuntungkan dan tidak dirugikan. Indonesia melihat OECD sudah tidak sekuat dulu, sehingga Indonesia harus bergabung dengan BRICS yang kekuatan pasarnya luar biasa dan mampu mengimbangi OECD. ” “, tutupnya.
Sementara itu, CEO Segara Research Institute Piter Abdullah menilai keterlibatan Indonesia dalam BRICS secara umum tidak akan berdampak besar terhadap rencana bergabung dengan OECD.
Sebab menurutnya hubungan Indonesia dan BRICS masih dalam tahap kemitraan. Lain halnya jika Indonesia benar-benar bergabung dan menjadi anggota BRICS, hal ini dapat menimbulkan pandangan negatif dari negara-negara Barat, khususnya yang tergabung dalam OECD.
Oleh karena itu, kalau kita hanya mitra, menurut saya tidak ada ruginya. Karena kita hanya mitra, bukan anggota, ujarnya.
Namun menurutnya, Indonesia tetap perlu berhati-hati dalam menjalin kemitraan dengan BRICS, terutama agar tidak mendapat opini negatif dari negara-negara anggota OECD. Sebab, menurutnya, Indonesia belum memiliki kemampuan atau ketahanan jika harus menghadapi, misalnya sanksi atau embargo dari negara Barat.
“Jika kami menjadi motor penggerak (anggota) BRICS, negara-negara Barat mungkin akan memperlakukan kami secara negatif, terutama mengingat hubungan baik antara kami dan Rusia. Jika (OECD) menganggap (Indonesia) sebagai teman Rusia, kami akan diperlakukan” secara negatif. Sementara posisi kami belum cukup kuat untuk diperlakukan seperti ini,” jelas Piter.
(fdl/fdl)