Rantepao-
Read More : Daftar Negara-negara Kurang Ramah buat Turis, Indonesia Ternyata Nomor 4
Bagi masyarakat Toraja, “wajib” merayakan kematian dengan pesta yang besar dan indah. Jika tidak percaya, wisatawan bisa menyaksikan upacara Rambu Solo saat berlibur di Toraja.
Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, bagi masyarakat Toraja, upacara kematian merupakan adat istiadat yang dilestarikan secara turun temurun.
Upacara pemakaman harus dipersiapkan sebaik mungkin. Masyarakat Toraja percaya bahwa upacara besar dan pengorbanan kerbau dapat “membawa” kerabat yang meninggal ke Puya atau surga.
Rambu Solo merupakan upacara duka masyarakat Toraja, rangkaian upacara pemakaman keluarga almarhum. Prakteknya tidak sama untuk semua lapisan masyarakat, tergantung status sosial di masyarakat dan tergantung kemampuan keluarga yang ditinggalkan. Beda kelas sosial, beda ritualnya, kata Karniati Lebonna, Manajer Pemasaran Disbudpar Toraja Utara. , menjelaskan. di detikTravel.
Karena sudah menjadi pengaruh budaya, maka seluruh keluarga yang melaksanakan upacara Rambu Solo harus melapor kepada pemerintah setempat. Terakhir, pihak dinas pariwisata akan mencatatnya dan memasukkannya ke dalam agenda untuk dikunjungi wisatawan.
Beruntung tim detikTravel karena Upacara Rambu Solo digelar di kawasan Tallung Penanian, Sanggalangi, Toraja Utara. Kami mengunjungi Tongkonan Buntu, tempat tinggal keluarga Joni Kornelius Tondok yang berduka.
Wakil DPRD asal Toraja Utara itu kehilangan istri tercinta Miska Tiku Limbong. Ia pun menggelar upacara akbar Rambu solo untuk istri tercinta.
Upacara Rambu Solo terdiri dari banyak solo. Dari awal hingga akhir pemakaman, prosesnya bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan jika menyertakan waktu persiapannya.
Ada rangkaian Ma’passuruk, Mangriu’ Batu, Ma’pasa’ Tedong, Ma’palao, Ma’batang, Mantunu dan terakhir kuburan Ma’kaburu atau Ma’aa. Setiap puisi penting dan memiliki makna.
Ma’passuruk merupakan tindakan menggiring kerbau (tedong) sebanyak tiga kali ke tempat diadakannya upacara dan pertemuan keluarga dimaksudkan untuk meninjau kembali hasil perbincangan keluarga sebelumnya mengenai pemakaman.
Ritual lainnya adalah Mangriu’ Baru atau menyeret batu menhir dari satu tempat ke tempat lain yang dilakukan secara bersama-sama oleh laki-laki satu desa. Batu menhir ini berfungsi sebagai peringatan terhadap orang yang meninggal/almarhum serta mengingatkan generasi penerus bahwa nenek moyangnya diberi upacara.
Baru setelah itu dilakukan prosesi Ma’pasa Tedong atau prosesi dengan membawa kerbau yang disumbangkan kepada keluarga yang ditinggalkan. Jumlahnya minimal 24 (Sapurandanan) dan bisa lebih tergantung kapasitas.
Usai pawai, kerbau-kerbau tersebut bertanding hingga salah satu dari kerbau tersebut mati atau pertarungan tidak dapat dilanjutkan. Terakhir, seluruh kerbau disembelih pada acara inti.
Setelah Ma’pasa Tedong, puisi selanjutnya adalah Ma’palao. Dalam prosesi ini, jenazah dibawa melewati desa untuk terakhir kalinya sebelum dimakamkan di Lakkean, sejenis penguburan terakhir.
Ada juga parade Ma’batang atau penyambutan tamu, serta Mantunu yang dikenal juga dengan hari penyembelihan kerbau yang disumbangkan kepada keluarga yang ditinggalkan. Setelah disembelih, dagingnya dibagikan.
Terakhir Ma’kaburu atau penguburan. Akan diadakan kebaktian gereja bagi warga Toraja yang masuk Kristen. Jenazah kemudian dimakamkan di Patane atau pemakaman modern masyarakat Toraja.
Salah satu wisatawan asing yang menghadiri upacara Rambu Solo di Tongkonan Buntu sangat terkesan dengan budaya Toraja mengenai upacara pemakaman.
“Ya, itu sangat bagus. Menariknya, yang saya suka adalah tidak sedih di pemakaman. Di negara saya, Italia, pemakaman merupakan hal yang menyedihkan. Di sini mereka tidak ada. Semua orang berkumpul untuk mengenang orang mati. Menurutku sangat menarik dan indah,” pungkas Lisa.
——-
Artikel ini disponsori oleh Lion Group. Anda dapat menemukan penawaran menarik untuk paket penerbangan dan hotel dari BookCabin di tautan ini. (wsw/wsw)