Bandung –
Belakangan ini viral kasus pungli di sejumlah tempat wisata di Jawa Barat. Menurut sosiolog Unpad, pungutan liar menjadi faktor pemicu peningkatan di Jawa Barat. apa pun?
Mulai dari Masjid Raya Al Jabbar, Kebun Teh Kertasari, hingga Air Terjun Siburial, serangkaian insiden kekerasan terjadi di tempat wisata Jawa Barat.
Sosiolog Unpad, Budi Rajab, mengatakan maraknya praktik pungli di Jawa Barat salah satunya disebabkan lemahnya penegakan hukum.
“Pemerintah harus mengambil tindakan, jangan sampai terjadi karena akan terjadi di tempat lain. Salah jika pemerintah tidak tinggal diam,” kata Budhi, Rabu (8/5).
Menurut Budhi, orang yang melakukan kerja paksa berusaha mencari uang namun tidak peduli dengan aturan. Mereka percaya bahwa yang penting adalah menghasilkan uang tanpa merugikan orang lain.
“Ini orang cari uang, tidak ada aturan penting mencari uang. Tidak ada paksaan hukum, semua ilegal. Mereka mencari uang dengan menggunakan kendaraan yang lalu lalang,” ujarnya.
Menurut Budi, praktik pungutan liar seperti yang terjadi di Masjid Raya Al-Jabar dinilai biasa saja dan dilakukan berulang-ulang tanpa ada tindakan tegas.
“Harusnya ditindak supaya ada efek jera. Prinsipnya, pemerintah harus berani menegakkan hukum, kalau hukum ditegakkan tidak akan ada praktik pengumpulan sumbangan. Kalau tidak ada tindakan konkrit, maka ada tidak akan ada praktik mengumpulkan sumbangan. Masyarakat juga akan merasa bebas (pelanggar pungli),” tegasnya.
Sementara itu, Psikiater RSIA Limijati Kota Bandung Dr. Elvin Gunawan mengatakan, praktik pungli yang dilakukan warga sekitar di Masjid Al-Jabbar dan kejadian serupa lainnya harus dilihat dari individualitas masing-masing orang.
“Setiap orang mempunyai ciri-ciri kepribadiannya masing-masing, yaitu ciri-ciri kepribadian yang perkembangan moralnya baik, sehingga belajar moral, belajar hukum, belajar etika. Ada orang yang ciri-ciri kepribadiannya sangat antisosial. Antisosial sangat kuat melawan aturan-aturan sosial.” melanggar aturan Lakukan apa yang menurutnya aturan bisa dilanggar demi keuntungannya, tidak ada simpati dan tidak ada rasa bersalah, kata Alvin.
Menurutnya, angka gangguan kepribadian antisosial sangat tinggi, terutama di daerah dengan perekonomian rendah, pendidikan rendah, pola asuh orang tua yang buruk, dan risiko kejahatan yang tinggi.
Oleh karena itu, kata Alvin, nilai-nilai sosial di sana dibangun di atas konsep sosial budaya yang destruktif. Menurutnya, dalam proses pembangunan Majid al-Jabbar secara umum melihat bagaimana faktor sosial budaya yang ada di wilayah tersebut.
Jika faktor sosial dan budaya tetap sama dan tidak diatasi, maka fenomena yang sama akan terus berlanjut. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan masyarakat setempat atas tindakan pungli, bisa jadi karena pemerasan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
“Dari sudut pandang ini kita tidak adil, secara finansial mereka kekurangan dan itu salah satu sektor perekonomian dan itu membuktikan jika pembangunan di suatu daerah dibarengi dengan pengembangan sumber daya manusia. Jadi benar kalau terjadi sesuatu. Made, masyarakatnya miskin, tersesat dalam mencari nafkah adalah hal yang lumrah,” katanya, “solusinya harus dilakukan oleh pemerintah.
Untuk mengatasi persoalan sumbangan paksa di tempat-tempat wisata, misalnya, pemerintah harus mencermati apakah kehadiran Masjid Al-Jabbar menjanjikan bisa menjadi sumber perekonomian.
“Kalau kita membangun di kawasan kumuh, terbengkalai, miskin, dan terpinggirkan, kejadian seperti itu mungkin saja terjadi. Kalau kita lihat di kubu Al-Jabbar, ada bunkhouse, jadi mereka melihat itu akan menjadi perbaikan ekonomi. Selama ini mereka yang terpinggirkan. warga,” ujarnya.
Terkait juga dengan lapangan kerja, apakah kehadiran masjid memberikan lapangan kerja bagi masyarakat atau tidak, atau selama ini mereka juga lahir dan bertahan atas kebaikan orang lain.
“Mereka melihat ketika ada orang yang mau beramal di masjid, tapi kita hidup berkekurangan, makanya mereka melihatnya sebagai pekerjaan. Misalnya kita melihat orang melakukan itu pada usia 40-50 tahun. pekerjaannya adalah 35-40, mereka berkata, “Apa yang akan kamu lakukan tanpa menyontek? Karena penipuan adalah pekerjaan yang tidak memerlukan umur dan modal.”
“Seharusnya pemerintah mengajak warga setempat bicara apakah ada ketimpangan, tidak adil jika menilai langsung, ada masalah sosial yang tidak pernah selesai. Kalau melihat komentar netizen yang sama, ini kawasan. Bukan kawasan. yang sudah siap dibangun, Tapi belum ada. Kami berharap ada upaya yang lebih baik terhadap faktor sosial budaya dan kemanusiaan, tutupnya.
——
Artikel ini dimuat di detikJabar. Simak Video “KPK Tahan 15 Tersangka Kasus Pungli, Karutan Salah satunya” (wsw/wsw)