Jakarta –

Read More : Permukaan Es Runtuh, Turis Terperosok ke Sungai

Adat dan pariwisata kembali bertabrakan di Bali, Pantai Berawa, Kuta Utara, Patung, Bali, Finns Beach Club dan warga menggelar festival adat secara bersamaan. Peran pemerintah patut dipertanyakan.

Kritik datang dari berbagai kalangan bahwa klub tersebut dinilai tidak menghormati umat Hindu yang melakukan ritual suci. Fins Beach Club di Canggu, Bali telah memicu kembali ketegangan antara masyarakat lokal dan pengelola klub pantai.

Kasus tersebut disebut melanggar adat istiadat setempat. Pesta kembang api yang diselenggarakan Finns Beach Club ini dinilai menghina simbol agama umat Hindu di Bali, khususnya yang terkait dengan citra Ida Sulingye.

Dosen Hukum Universitas Katia Mada Todi Utama menilai fenomena tersebut bukan sekedar pelanggaran adat istiadat suatu negara, namun juga mencerminkan semakin kompleksnya persaingan spasial dan pluralisme hukum di Bali.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin mengajak semua pihak untuk melihat kasus Finns Beach Club dari perspektif pluralisme hukum dan kompetisi spasial yang saat ini terjadi di Bali, kata Dodi saat diwawancarai detikTravel, Senin (28/7). / 10/2024).

Menurut Dodi, ada gesekan antara masyarakat lokal dengan industri pariwisata seperti Finns Beach Club. Tidak ada hal baru di Bali. Kasus tersebut mencerminkan tarik-menarik antara perekonomian, adat istiadat, dan kebutuhan masyarakat.

Di satu sisi, desa adat memiliki batasan lokal atau awig-awig yang kuat yang secara budaya mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Di sisi lain, klub pantai seperti Fins biasanya beroperasi berdasarkan persetujuan pemerintah yang berfokus pada aspek ekonomi.

Fins Beach Club memiliki izin operasional yang sah dari Pemerintah Bali. Sebagai lembaga penyumbang pendapatan daerah, keberadaan beach club ini didukung oleh pemerintah. Namun, desa-desa adat yang terganggu oleh tindakan Finlandia harus bertanggung jawab atas dampak budaya yang ditimbulkannya.

Menurut Dodi, pemerintah harus menyelesaikan konflik ini sedemikian rupa sehingga kepentingan ekonomi dan kepentingan konvensional tidak saling bertentangan. Misalnya, upacara penebusan dosa atau absolusi di pura desa adat akan menjadi solusi damai.

Sanksi adat dalam konteks ini antara lain pembayaran denda dan kewajiban melakukan upacara absolusi atau penyucian di pura desa, ujarnya.

Meski demikian, Dodi menegaskan tidak semua negara eksternal bersedia mematuhi sanksi konvensional. Tanpa dukungan pemerintah, desa adat tidak mempunyai kekuatan koersif yang kuat untuk memberikan sanksi kepada perusahaan luar.

“Tanpa dukungan pemerintah, sulit bagi desa adat untuk membangun pembatas konvensional yang memiliki kekuatan koersif yang efektif,” ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah harus terlibat aktif dalam penerapan sanksi rutin yang efektif. Dodi juga mengingatkan, segala konflik yang melibatkan adat dan industri pariwisata Bali harus diselesaikan melalui pendekatan bilateral atau melalui mediasi pemerintah jika diperlukan.

“Jika kedua pihak tidak dapat mencapai kesepakatan sendiri, pemerintah dapat bertindak sebagai mediator netral untuk mencapai keadilan bagi semua pihak,” kata Dodi.

Dengan keterlibatan pemerintah yang proaktif, kami berharap konflik serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Selain itu, industri pariwisata di Bali juga harus terus berkembang namun tetap menghormati adat istiadat yang masih ada.

Pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi pihak pemberi izin usaha, namun juga menjadi garda untuk memastikan kepentingan budaya lokal tidak sepenuhnya terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi.

Saksikan video “Ratusan tamu delegasi WWF ke-10 disambut dengan ritual tarian adat Bali” (fem/fem)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *