Jakarta –
PT Balai Pustaka memberhentikan 65 karyawannya. Sebagai badan usaha milik negara, Balai Pustaka telah berkembang pesat.
Mengutip laman resminya, Kamis (25/7/2024) Balai Pustaka resmi berdiri pada 22 September 1917 sebagai kelanjutan dari Komisi Inlandische School dan Volklektur (Komisi Membaca Rakyat) yang didirikan pada 14 September. Jadi tahun ini Balai Pustaka berusia 107 tahun atau lebih tua satu abad.
Banyak momen penting dalam perjalanan Balai Pustaka selama ini. Pada tanggal 14 September 1908, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslektoor (Komisi Bacaan Rakyat). Komisi ini bertugas memilih bahan bacaan yang tepat dan tepat bagi masyarakat adat.
Kemudian pada tanggal 13 Oktober 1910 diambil keputusan untuk mendirikan perpustakaan untuk mendistribusikan buku kepada masyarakat. Nama perpustakaannya adalah Taman Puestaka. Selain perpustakaan, hasil kerja Komisi disalurkan melalui penjualan yang dijalankan oleh Depot Leermideln dan melalui truk-truk kecil yang berfungsi sebagai toko buku yang melakukan perjalanan ke kota-kota di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Komisi Bacaan Rakyat diubah menjadi Balai Poestak karena dianggap berhasil pada tanggal 22 September 1917. Tidak hanya mengumpulkan, tetapi juga mencetak dan menerbitkan bahan bacaan. Pernyataan di halaman itu berbunyi: “DA Rinkes dianggap sebagai pemimpin pertama Balai Pustaka. Tanggal ini diperingati sebagai hari lahir Balai Pustaka. Buku-buku terbitan Balai Pustaka dalam berbagai mata pelajaran dan bahasa.”
Selain itu, pada tahun 1942 atau pada masa pendudukan Jepang, Balai Pustaka berganti nama menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (Biro Perpustakaan Rakyat, Pemerintah Militer Jepang). Pada periode ini, Balai Pustaka berperan penting dalam proses transformasi penerjemahan bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.
Pada tahun 1963, Balai Pustaka berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Balai Pustaka yang tetap berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian pada tahun 1975, Balai Pustaka berhasil memproduksi buku tersebut sebanyak 1 juta eksemplar.
Situasi perusahaan berubah lagi pada tahun 1985. PN Balai Pustaka berubah menjadi Perusahaan Umum Balai Pustaka (Peram).
Pada tahun 1990, Balai Pustaka menjadi penerbit buku pelajaran sekolah sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0689/M/1990 tentang Pendistribusian Buku Pelajaran dan Buku Bacaan untuk Sekolah Dasar, Menengah, dan Atas di Seluruh Indonesia.
Kemudian pada tahun 2013, Balai Pustaka meluncurkan toko e-book Balai Pustaka. Proses digitalisasi atau transformasi multimedia telah dimulai.
“Konten pendidikan dan literatur budaya mulai dikemas dalam bentuk e-book, animasi, layar besar, perpustakaan elektronik,” demikian pernyataan tersebut.
Singkat cerita, pada tahun 2022 PT Balai Pustaka resmi menjadi anggota holding PT Danareksa (Persero). Hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah no. 7 Tahun 2022 tentang penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perusahaan (Persero) PT Danarexa.
Kemudian, Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 143/KMK.06/2022 tanggal 18 April 2022 tentang Penetapan Nilai Tambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia dalam Modal Saham Perseroan (Persero) dengan Cara Pemindahtanganan seluruh Perusahaan Seri B Milik Negara Republik Indonesia Saham yang berkenaan dengan PT Danarexa (Persero) dimiliki sebesar 99% dan 1 saham bifurnace Seri A dimiliki oleh Pemerintah untuk dijadikan tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia pada PT Danarexa (Persero ). Republik Indonesia.
Achmad Fachrodji, Direktur Utama Balai Pustaka, mengatakan perusahaan memberhentikan 65 karyawannya. Langkah ini diambil sesuai dengan perubahan bisnis perusahaan.
Dikatakannya, “Balai Pustaka telah diinstruksikan oleh Menteri BUMN dan Danarexa Holding Company untuk menjadi perusahaan perizinan kekayaan intelektual. Artinya, kegiatan pencetakannya harus dikurangi.”
Ia menceritakan, dulunya jumlah percetakan cukup banyak. Ia mengatakan, biaya yang dikeluarkan perusahaan meningkat. Sedangkan perizinan kekayaan intelektual merupakan industri kreatif. Oleh karena itu, perlu adanya restrukturisasi sumber daya manusia (SDM), ujarnya. “Dulu jumlah pegawai yang terlibat di percetakan cukup banyak sehingga fixed cost-nya tinggi. Padahal, perusahaan perizinan HKI itu industri kreatif sehingga perlu adanya restrukturisasi SDM,” ujarnya.
Tonton juga video ‘Elon Musk memenangkan sengketa pesangon mantan karyawan Twitter’:
(ACD/DAS)