Lubuklinggau –

Monumen bersejarah perjuangan rakyat Msi Ulu Rawas (Monpera) di Lübuklinggau kini dalam kondisi rusak. Kini monumen tersebut dipenuhi sampah.

Monumen ini terletak di pusat kota Lübuklinggau. Namun kondisinya terlihat tidak terurus, banyak sampah dan catnya hilang.

Meski sudah diperbaiki, batu peringatan ini kembali terbengkalai karena tak terurus. Banyaknya sampah berserakan, rumput liar yang belum dipotong, dan beberapa orang yang membakar sampah di dekat tugu peringatan membuat situasi semakin meresahkan.

“Dulu sebelum direnovasi kondisinya juga jelek, pas kemarin dibersihkan, dicat ulang dan dipagari, kalau kita lihat baik-baik saja. Tapi sekarang kembali terbengkalai, mungkin karena tidak ada yang melihatnya. .” – kata pemandu museum Sub-Coss Lubuklinggau, Berlian Susetio.

Berlian mengatakan tugu bisa menjadi tempat masyarakat duduk atau bertemu sambil belajar tentang sejarah tugu.

“Bahkan bisa menjadi tempat bersantai sekaligus belajar.

Tugu peringatan ini dibangun untuk menghormati prajurit Indonesia di wilayah Musi Ulu Rawas yang sekarang disebut Musi Rawas, Lubuklinggau dan Muratara. Keberadaan monumen ini menjadi harapan agar masyarakat setempat tetap mengenang perjuangan para pahlawan yang gugur saat mengusir tentara Jepang.

Inilah salah satu tempat yang sering dilihat oleh pengunjung baru Lübüklinggau, karena terletak di pusat kota Lübüklingau dan dekat dengan stasiun kereta Sejarah Perjuangan Rakyat

Monumen ini menampilkan gambar prajurit Musi Ulu Rawas pada tahun 1945 yang berjuang mengusir sisa tentara Jepang yang belum mundur saat Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaan.

Bagian atas monumen ini juga terdapat gambar pejuang Indonesia yang bersiap menyerang dengan senjata mortir.

Berlian mengatakan, monumen tersebut dibangun untuk mengenang peperangan antara masyarakat Musi Ulu Rawas dengan tentara Jepang di Lubuklinggau pasca kemerdekaan pada tahun 1945.

“Awalnya setelah kita merdeka, di kota Lubuklinggau hanya ada beberapa tentara Jepang. Karena Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaan, tentara Jepang tidak mau pergi, dan cerita kembalinya Belanda ke Indonesia membuat masyarakat Musi Ulu Rawas terharu. mereka harus memiliki senjata dan mengambil inisiatif untuk mengambil senjata dari tentara. Jepang tidak mau meninggalkan Indonesia, ujarnya.

Berlian mengatakan, pertarungan terjadi di dekat gedung tempat tentara Jepang menyimpan senjata, kini gedung Perdana Menteri, dan kini di depan stasiun kereta Lübuklinggau.

Di antara prajurit tersebut terdapat masyarakat Rawas dan Musi Ulu serta beberapa anak suku dalam yang hanya mengandalkan peperangan tradisional melawan angkatan bersenjata Jepang modern sehingga menimbulkan banyak korban jiwa dalam perang tersebut.

Sebanyak 63 orang tewas dalam pertempuran ini. Para pahlawan yang gugur dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bukit Sulap Patria.

“Pertempuran terjadi di dekat gedung Perdana Menteri dekat tugu peringatan. Maka untuk memperingatinya, didirikanlah sebuah monumen pada tahun 1972 pada masa pemerintahan Musi Rawas, Janaarn,” ujarnya.

Selanjutnya sebagian besar penduduk kota Lübuklinggau tidak mengetahui sejarah dan tidak memahami bahwa monumen tersebut adalah monumen Kolonel Atmo.

Berlian mengatakan warga Lübuklinggau mungkin salah mengartikan monumen tersebut karena ada tiga gambar tentara bersenjata yang diduga warga Kolonel Atmo sedang memeriksa senjata.

“Memang tersebar luas informasi bahwa monumen ini adalah monumen Kolonel Atmo. Namun jika kita melihat dokumen yang ada dan melihat sisa-sisanya, monumen tersebut menggambarkan perang tahun 1945,” ujarnya.

“Mungkin karena di atas monumen ini ada tiga gambar tentara sedang memeriksa senjata, orang mengira itu monumen Kolonel Atmo, padahal bukan,” lanjutnya.

Berlian mengatakan, memang ada cerita Kolonel Atmo tewas dalam uji coba senjata. Namun kejadian tersebut terjadi di area yang salah.

“Tidak ada kejadian uji coba senjata Kolonel Atmo, tapi di distrik Mesat tempat dia menguji senjatanya,” ujarnya.

Terkait gambar di monumen tersebut, Berlian mengatakan pihaknya belum mengetahui apakah itu benar-benar gambaran Kolonel Atmo atau tentara yang mengusir Jepang pada tahun 1945.

“Kami belum mempunyai catatan apakah ketiga patung di tugu tersebut milik Kolonel Atmo atau bukan. Namun, dalam arsip kami disebutkan bahwa tugu tersebut adalah Tugu Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas dan bukan “sipir penjara Kolonel Atmo”. , jelas mereka.

Monumen Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas pernah direnovasi oleh pemerintah kota Lubuklinggau dan terbengkalai. Namun sayang, pada saat renovasi, nama monumen tersebut diubah menjadi Taman Bambu Runcing.

“Disetujui oleh pemerintah kota sekitar tahun 2022, kita tidak tahu dari dinas mana, tapi kemarin sudah dibersihkan, dicat ulang dan dipagari agar terlihat bagus, tapi sayang nama monumennya diubah dan kita tidak tahu. tiba-tiba berubah di Taman Bambu Runcing,” ujarnya.

Dengan adanya perubahan nama tugu, Berlian mengatakan makna historis dan filosofis tugu tersebut hilang.

“Bagi kita yang menyimpan data dan sejarah, akan hilang karena jika namanya berubah menjadi bambu runcing, maka maknanya akan berbeda dan sejarah akan otomatis berubah. Sebuah monumen didirikan untuk menghormati peristiwa ini ketika terjadi perubahan. , aspek filosofis dan historisnya juga akan hilang,” imbuhnya.

Untuk memastikan sejarah tugu tetap terjaga, Berlian mengatakan pihak museum selalu mengarahkan pengunjung ke Tugu Peringatan Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas saat pengunjung berkunjung ke museum.

“Jadi setiap ada anak-anak sekolah atau kami datang, kami selalu memberikan informasi yang sebenarnya tentang monumen tersebut,” tutupnya.

——-

Artikel ini dimuat di detikSumbagsel. Tonton video “Perangko Suvenir Mercedes Benz di Kroasia” (wsw/wsw)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *