Jakarta –

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menutup sementara kegiatan pemanfaatan ruang laut di resor-resor di pulau terjauh NKRI tanpa izin resmi. Langkah ini bertujuan untuk memastikan pulau tersebut tidak diambil alih oleh perusahaan asing.

Terakhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan menutup dua resor di Pulau Maratua di Kabupaten Shrike, Kalimantan Timur. Kedua resor tersebut dikelola oleh perusahaan asing PT MID dan PT NMR karena dugaan kurangnya dokumen izin Persetujuan Kualifikasi Kegiatan Pemanfaatan Kawasan Maritim (PKKPRL).

Pung Nugroho Saxono, Direktur Jenderal Peraturan Departemen Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), mengatakan tidak adanya izin terkait pemanfaatan wilayah di pulau-pulau terjauh merupakan indikasi upaya negara untuk bersaing memperebutkan kepemilikan pulau-pulau tersebut. Indonesia

Dari pembelajaran mengenai aneksasi Pulau Sipadan dan Ligitan, ia menjelaskan cara yang paling banyak dilakukan adalah dengan mengembangkan usaha baik itu resor atau sektor pariwisata lainnya. Di pulau itu melalui penanaman modal asing atau (PMA)

Pria yang akrab disapa Ipunk ini mengatakan, awalnya pekerja asal Indonesia dikerahkan dalam pembangunan dan pengoperasian resor tersebut. Namun para pekerja tersebut diberhentikan secara bertahap atau diberhentikan (PHK)

Orang Indonesia yang menduduki pulau tersebut lambat laun berpindah ke tempat lain. Setelah itu, kekurangan tenaga kerja akan digantikan oleh asing.

Praktek sebelumnya di Sipadan dan Ligitan pulau-pulau tersebut dikelola oleh PMA dan kemudian pegawainya adalah WNI. WNI sehingga pegawai-pegawai ini di PHK bertahap, khususnya WNI, kata Ebonk dalam jumpa pers Said di atas. Pada Senin (23/9/2024), Kantor KKP mengeluarkan “update pemberlakuan PKKPRL di pulau-pulau kecil dan terpencil”.

“Sampai pemecatan selesai. Penuh dengan orang asing. Tidak ada WNI yang tersisa di pulau itu. Orang asing itu hilang. Klaim sebagai milik mereka,” jelasnya lagi.

Menurut dia, perusahaan asing tersebut akan membuat atau mengumpulkan data statistik sederhana. sebagai bukti bahwa pulau-pulau terluar Indonesia adalah milik mereka. Mulai dari jumlah pohon yang ada di pulau tersebut hingga informasi lainnya. Pemerintah tidak

“Nanti mereka akan mendapatkan statistik yang tidak akan kita dapatkan jika kita tidak hati-hati. Statistik yang mereka punya itu sederhana saja, seperti ada berapa pohon, batu apa saja yang ada. Mungkin malah dia yang membangun jembatan sekarang. banyak kayu atau bambu yang dibutuhkan?”

Dengan statistik tersebut mereka dapat mengklaim bahwa pulau tersebut dimiliki dan dikelola oleh mereka. Belum lagi, akan sulit bagi masyarakat Indonesia untuk membuktikan kepemilikannya karena kurangnya dokumen perizinan pemerintah atau kehadiran orang asing di pulau tersebut.

Untuk mencegah pencaplokan lagi pulau terluar Indonesia, KKP telah bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk memantaunya, kata Ipunk. Departemen kemudian dapat menerima laporan terbaru dari tempat kejadian.

“Soal teknologi di pulau-pulau kecil ini yang tidak ada sinyal, kami juga punya kelompok Bhogmavas. Itu kelompok pemantau masyarakat dan kami mempekerjakan banyak orang di pulau itu untuk bertindak sebagai ‘pokmaswats’. Itu orang-orang yang melapor ke pulau-pulau kecil itu. kami, ‘Pak, ada pulau di sana,’ dan ‘sedang dibangun resor di pulau itu,'” jelasnya.

“Kalau kita tidak ada di pulau-pulau terluar, jika negara tidak hadir, makanya KKP ditempatkan di pulau-pulau terluar untuk memastikan tetap menjadi wilayah NKRI. Kalau kita diam, masa depan hanya menjadi a memori tapi kami akan memastikan perlindungan pulau-pulau ini. “Dalam hal ini yang terluar,” tegas Ipunk lagi.

(FDL/FDL)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *