Jakarta –

Read More : Kasus Anak Bunuh Diri di Jepang Cetak Rekor Tertinggi pada 2024, Inikah Pemicunya?

Edukasi tentang bahaya bisphenol A (BPA) seringkali menghadapi tantangan. Kebijakan yang mengatur penggunaan BPA dalam kemasan plastik tampaknya hanya menguntungkan sebagian produsen yang tidak menggunakan bahan tersebut.

Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Ulul Albab, SpOG mengingatkan semua pihak untuk fokus pada upaya melindungi masyarakat dari dampak kesehatan. Namun, penelitian yang membuktikan risiko kesehatan akibat paparan BPA telah dipublikasikan di banyak jurnal ilmiah.

Soal persaingan, menurut Dr Ulul biasa saja. Pengetahuan baru yang dianggap tidak stabil biasanya ditemui dalam upaya tersebut.

“Dulu di era COVID, ketika kita tidak tahu berapa banyak orang yang meninggal, isu COVID terdistorsi dengan berbagai macam masalah,” kata Dr. menangis

Faktanya, survei BPOM tahun 2021-2022 terhadap fasilitas air minum dengan kemasan polikarbonat menunjukkan tingkat migrasi BPA dalam air minum meningkat secara bertahap dari 0,6 ppm (standar BPOM) menjadi 4,58%. Begitu pula dengan hasil uji migrasi BPA yang berada pada kisaran 0,05-0,6 ppm dan secara bertahap mencapai 41,56%.

Sementara itu, di negara maju, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) semakin menurunkan batas aman paparan BPA pada manusia. Jika pada tahun 2015 badan tersebut menetapkan Tolerable Daily Intake (TDI) sebesar 4 kg/kg berat badan, maka pada bulan April 2023 batas tersebut akan diturunkan kembali menjadi 0,2 ng/kg/hari, sekitar 20.000 kali lebih rendah.

Di sisi lain, sulit mengendalikan perilaku pengguna galon air daur ulang yang dapat meningkatkan risiko pelepasan partikel BPA. Asosiasi Penyalur dan Penyalur Air Minum Indonesia (Apdamindo) menemukan masih banyak warga yang menggunakan galon berumur 10-15 tahun hingga menguning.

Menurut Dr Ulul, penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman bukan hanya menjadi masalah di Indonesia. Banyak negara lain juga mengkhawatirkan risiko kesehatan sehingga perlu diatur.

Posisi IDI sebagai organisasi profesi dokter adalah kita mengungkapkan kebenaran. Diterima atau tidak diterima? “Apa yang dialami masyarakat, harus kita pilih,” jelasnya.

Sementara itu, Profesor Dr. Mochamad Chalid, SSc, MScEng, pakar polimer Universitas Indonesia, menjelaskan BPA digunakan sebagai bahan baku produksi plastik polikarbonat (PC) di industri plastik. Menurutnya, penggunaan yang tidak terkontrol menimbulkan risiko pelepasan atau pelepasan partikel BPA.

“Ibaratnya polimer seperti serat rantai,” jelas Prof Chalid dalam diskusi Forum Pemimpin Anak di Jakarta Selatan. Rabu (30 Oktober 2024).

Profesor Chalid mencatat, ada banyak faktor yang meningkatkan risiko bocor atau terurainya BPA ke dalam air minum dalam wadah polikarbonat. Misalnya saja paparan sinar matahari pada saat pendistribusian, suhu tinggi dan proses pencucian.

“Hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti penggunaan, transportasi, dari sistem produksi ke masyarakat, ke ritel, lalu ke konsumen, lalu ke konsumen, untuk digunakan kembali, lalu digunakan kembali, lalu dibersihkan lagi,” kata Profesor Chalid. .

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr. SpOG Ulul Albab mengatakan, efek klinis paparan BPA telah didokumentasikan di banyak jurnal ilmiah. Salah satunya terkait kesuburan, karena sifat BPA mengganggu keseimbangan hormonal. (avk/naik)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *