Jakarta –
Read More : IShowSpeed Ketemu Suster Ngesot di Kota Tua Jakarta, Eh Ditolongin
Sektor kecerdasan buatan (AI) menjadi favorit di dunia teknologi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (COMINFO) juga menyerukan lebih banyak pengembang dan insinyur perempuan untuk terlibat dalam AI untuk mengurangi bias.
Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Mira Taiba mengatakan teknologi menjadi bagian penting dalam mencapai tujuan emas Indonesia pada tahun 2045. Oleh karena itu, teknologi seperti kecerdasan buatan harus digunakan oleh semua kelompok dan gender.
“Teknologi digital ini netral gender. Jadi sebaiknya digunakan oleh laki-laki dan perempuan,” kata Mira saat diskusi panel pada acara Microsoft Build: AI Day di Jakarta Convention Center.
“Itulah mengapa penting bagi perempuan untuk memahami teknologi digital tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai pengembang,” lanjutnya.
Meera menjelaskan, data yang digunakan untuk melatih AI saat ini sangat terbatas sehingga hasil yang dihasilkan terkadang bias. Misalnya, jika Anda diminta untuk mengambil gambar pilot dengan hanya karakter laki-laki, atau gambar perawat dengan sebagian besar karakter perempuan.
“Oleh karena itu, kami melihat bahwa partisipasi semua kelompok sosial, tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan, tidak hanya di kota tetapi juga di desa, tidak hanya di seluruh dunia tetapi juga di Indonesia, harus berkontribusi pada kenyataan bahwa kita adalah bagian dari dia. Profiling atau data profil yang nantinya akan dibuat,” jelas Mira.
Di saat yang sama, salah satu pendiri Binar Academy dan CCO Dita Aisya mengakui bahwa masih banyak tantangan dalam merekrut perempuan untuk berkarir di AI. Menurutnya, saat ini jumlah talenta digital perempuan di Indonesia masih timpang dibandingkan laki-laki.
“Pada tahun 2030, kita membutuhkan sembilan juta talenta digital baru. Dengan kelangkaan tersebut, industri teknologi tidak bisa melakukan diskriminasi berdasarkan gender,” kata Dita.
“Hanya 30% jurusan sains dan teknologi atau STEM di kampus yang perempuan. “Kita tidak hanya membutuhkan laki-laki untuk masuk ke sektor ini, tapi juga perempuan,” lanjutnya.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya dukungan dari keluarga, karena ilmu pengetahuan dan teknologi lebih cocok untuk laki-laki. Kedua, karena kurangnya teladan, banyak orang tua yang mungkin tidak memahami coding atau membuat aplikasi.
Ketiga adalah persoalan akses, karena hanya 20% rumah tangga di Indonesia yang memiliki laptop atau komputer. Padahal perangkat ini sangat penting untuk memulai belajar coding dan pemrograman.
“Saya yakin bahasa pemrograman dan coding akan menjadi pengetahuan umum di masa depan. Bagaimana kita bisa mencapainya ketika kepemilikan laptop masih rendah,” tutupnya. Tonton video “Rise 2024 Google Siapkan Perlengkapan 9 Ribu Mahasiswa Baru Berkemampuan AI” (vmp/rns)