Jakarta –
Ciputra atau Tjiputra adalah seorang pengusaha sukses, pionir dalam industri real estate Indonesia. Ia memiliki banyak perusahaan di bidang real estate seperti Jaya Group, Metropolitan Group dan Ciputra Group.
Dengan begitu, pria kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931 ini bahkan dikenal sebagai salah satu negara pemilik tanah air. Namanya masih masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia meski sudah meninggal.
Ciputra meninggal dunia pada 27 November 2019. Ia meninggal dunia pada usia 88 tahun dan dimakamkan di Jonggol, Jawa Barat. Setelah beliau meninggal, perusahaan dan warisannya kini berada di bawah asuhan anak dan cucunya.
Bahkan, pada 16 Desember 2024, Forbes mencatatkan kekayaan bersih keluarga Ciputra sebesar US$1,7 miliar atau setara Rp 27,56 triliun (kurs Rp 16.215), menempatkan mereka di peringkat 26 daftar orang terkaya di Indonesia.
“Ciputra adalah seorang arsitek terlatih, yang mendirikan Ciputra Group lebih dari tiga dekade lalu. Saat ini, Ciputra Group merupakan salah satu perusahaan real estate terbesar di Tanah Air dengan lebih dari 70 proyek di 33 kota,” tulis Forbes dalam laporannya.
“Dua putra dan dua putri almarhum, Candra, Cakra, Junita dan Rina, yang sudah lama berkecimpung dalam bisnis keluarga, kini menjalankan grup Ciputra,” jelas majalah keuangan internasional itu lagi.
Namun kesuksesan Ciputra diraih dengan perjuangan yang berat. Ia sendiri terlilit utang saat krisis 1998.
Dalam komentar detikcom yang mengutip buku ‘Moderate Property, Capital and Veins’ karya Benny Lo, Ciputra memulai bisnisnya saat masih kuliah di Fakultas Arsitektur Institut Teknologi Bandung pada tahun 1957. Saat itu, ia dan dua teman kuliahnya , yaitu Budi Brasali dan Ismail Sofyan mendirikan kantor arsitektur di bawah bendera PT Daya Cipta.
Studio arsitektur Ciputra dan dua rekannya diberi banyak proyek. Pada tahun 1960, Ciputra lulus dari ITB dan pindah ke Jakarta.
“Kami harus ke Jakarta karena banyak pekerjaan,” kata Ciputra seperti dikutip dalam buku Properti Moderat, Modal Dengkul dan Urat karya Benny Lo.
Memang benar, di Jakarta kiprah bisnis Ciputra semakin sukses. Hingga akhirnya pada tahun 1961, ia mendirikan Jaya Group dengan modal Rp10 juta. Perusahaan ini semakin berkembang. Melalui PT Ciputra Development, pengusaha Tjie Tjin Hoan berhasil membawa perusahaan lokal ke level bisnis internasional dengan nilai aset lebih dari Rp 30 triliun.
Namun perjalanan bisnis Ciputra tidak selalu mulus. Pada tanggal 23 Juli 1996, setelah 30 tahun memimpin perusahaan, Ciputra mengundurkan diri dari PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang didirikannya pada tahun 1961. Hanya satu tahun setelah pensiun, Pembangunan Jaya dan perusahaan lain milik Ciputra dilanda badai. berada di bawah grup Metropolitan Development dan Ciputra.
Dulu, Jaya Group banyak mengerjakan proyek berskala besar. Sebagian proyek dilaksanakan dengan kredit dalam bentuk dolar kepada bank asing. Saat itu, Ciputra optimistis mampu melunasi seluruh pinjaman tersebut.
Perhitungan dan keyakinan Ciputra salah. Pada tahun 1998, rupee melemah dengan cepat terhadap dolar AS. Dari dulu nilai satu dollar hanya berkisar Rp 2.000, lalu naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu kurang dari setahun, nilai dollar sudah naik lebih dari lima kali lipat. Utang kelompok Jaya meningkat pesat hingga hampir 100 juta dolar.
“Kami sama sekali tidak menyangka,” kata Ciputra seperti dikutip dalam otobiografinya, The Passion of My Life, yang diluncurkannya pada akhir November 2017.
Saat krisis ekonomi tahun 1998, CEO Pembangunan Jaya saat itu Edmund Sutisna mengatakan Ciputra berbagi tugas dengan manajemen Pembangunan Jaya dan Metropolitan. Penyelesaian permasalahan di Pembangunan Jaya dipercayakan kepada direksi, seperti halnya di Metropolitan.
“Pak Ci fokus menyelesaikan masalah di Ciputra Group. Beliau sudah mempercayakan kami di Jaya Group untuk menyelesaikannya sendiri. Tapi kalau ada masalah, kami konsultasikan ke beliau,” kata Edmund kepada detikcom, beberapa waktu lalu.
Secara bertahap, tiga grup usaha Ciputra: Pembangunan Jaya, Metropolitan, dan Grup Ciputra keluar dari krisis. Untuk menutupi utang, Ciputra menerbitkan saham di sejumlah perusahaan, termasuk Bumi Serpong Damai (BSD). Beberapa unit usaha seperti Bank Ciputra terpaksa tutup selamanya.
Ciputra pun berhasil pulih dan terhindar dari kebangkrutan. Saat ini, generasi ketiga keluarga Ciputra telah siap bergabung dalam kepengurusan grup Ciputra dan ikut serta dalam kelanjutan bisnis keluarga yang penuh liku-liku. (bunuh bunuh)