Jakarta –
Read More : Jokowi Atur Bisnis Franchise, Syaratnya Harus Sudah Untung!
Budaya kerja yang kaku di banyak perusahaan Jepang telah memaksa banyak pekerjanya untuk berhenti. Misalnya Yuki Watanabe (nama samaran) adalah seorang karyawan yang biasanya menghabiskan 12 jam sehari di kantor.
Pria berusia 24 tahun itu mengaku mengalami gangguan kesehatan mulai dari kaki hingga perutnya akibat model kerja tersebut. Namun di Jepang cukup sulit untuk meminta PHK.
Seperti dikutip CNN, Senin (8/2/2024), pengunduran diri dianggap sebagai bentuk rasa tidak hormat di Negeri Matahari Terbit. Akibatnya, banyak orang yang terus ngotot bekerja selama bertahun-tahun, puluhan tahun, atau bahkan seumur hidup.
Bahkan meninggalkan pekerjaan tepat waktu atau meminta cuti bukanlah hal yang mudah. Permasalahan budaya ini menghalangi sebagian besar pekerja untuk meninggalkan pekerjaan mereka.
Dalam kasus yang paling ekstrem, atasan yang pemarah dapat meminta PHK dan menindas karyawannya agar tetap bekerja. Meski tidak puas dengan pekerjaannya, Watanabe tidak berani berhenti.
“Saya tidak ingin atasan saya menolak pengunduran diri saya dan tetap bekerja,” ujarnya.
Ia akhirnya menemukan jalan keluar dari kebuntuan tersebut dengan menyewa agen penyelamat bernama Momuri. Agensi tersebut membantu karyawan yang pemalu untuk berhenti dari pekerjaannya.
Industri ini sudah ada sebelum pandemi Covid-19. Namun popularitasnya meroket sejak pandemi setelah bertahun-tahun bekerja dari rumah, sehingga mendorong beberapa pekerja setia Jepang untuk memikirkan kembali karier mereka.
Shiori Kawamata, manajer operasi Momuri, mengatakan tahun lalu ada 11.000 pertanyaan dari pelanggan. Terletak di Minato, salah satu kawasan bisnis tersibuk di Tokyo, perusahaan ini didirikan pada tahun 2022 dengan nama yang berusaha menarik perhatian pelanggan yang tidak berdaya. .
Momuri berarti “Saya tidak bisa melakukannya lagi” dalam bahasa Jepang. Dengan biaya sebesar ¥22.000 atau sekitar $150 atau Rp 2,3 juta, perusahaan menawarkan layanan pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka bernegosiasi dengan perusahaan dan memberikan rekomendasi kepada pengacara jika ada litigasi.
“Ada yang sudah tiga kali merobek surat pengunduran diri, dan atasan tidak membiarkannya berhenti meski sudah berlutut dan sujud,” jelasnya.
“Kadang-kadang mereka menelepon kami sambil menangis dan bertanya apakah mereka boleh berhenti dari pekerjaannya. Kami sampaikan kepada mereka bahwa ini bukan masalah dan pemecatan adalah hak buruh,” tambah Kawamata. (begitu/begitu)