Jakarta –
Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah utama pemerintah, kata Kementerian Kesehatan RI (Cheminux). Pihaknya mengungkapkan, Indonesia memiliki jumlah kasus TBC tertinggi di dunia.
“Sampai saat ini TBC masih menjadi masalah di dunia. Kalau kita lihat jumlahnya cukup besar dan diperkirakan ada 1.060.000 kasus di Indonesia,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian tersebut. Semangat, Imran Pabodi, Webinar Tuberkulosis Indonesia, Rabu (06/05/2024).
“Kematiannya lebih dari 130.000 per tahun, jadi jika kita mengkonversikannya, berarti 14 kematian per jam akibat TBC,” lanjutnya.
Lebih lanjut Imran Pabodi mengatakan pada tahun 2023, Indonesia mampu mendeteksi 821.200 kasus. Sekitar 88 persen pasien yang berhasil terdeteksi juga memulai pengobatan.
Banyak pasien yang harus melalui jalan yang tidak mudah setelah didiagnosis mengidap TBC, terutama karena masih adanya stigma “buruk” palsu yang melekat pada dirinya di masyarakat. Padahal, pasien TBC membutuhkan banyak dukungan karena proses pengobatannya tidak singkat.
“Mereka harus minum obat setiap hari, itu menyakitkan, apalagi dengan obat TBC, ada yang mungkin mengalami efek tidak menyenangkan seperti mual, lemas, dan lain-lain,” kata Imran.
“Selain masalah fisik, ada juga masalah psikologis yaitu stigma yang mereka terima dari masyarakat, keluarga, dan mungkin tenaga kesehatan. Tapi yang terpenting adalah membebaskan mereka dari sel stigma tersebut. Mereka harus bisa melakukan itu,” lanjut Imran.
Terkait tingginya kasus TBC di Indonesia, Imran mengakui masih terdapat tantangan besar dalam proses pemberantasan penyakit tersebut. Beberapa di antaranya mencakup banyak kasus yang tidak terdiagnosis dan pasien tidak menjalani pengobatan.
Imran mengaku pihaknya akan terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang penyakit TBC di masyarakat.
“Tantangannya antara lain tidak adanya pencatatan kasus, pengobatan kasus TBC yang tidak tepat waktu, dan penghentian obat,” katanya.
“Hal ini misalnya disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap gejala, penularan dan pengobatan TBC, serta efek samping, perilaku hidup sehat, pencegahan TBC lintas sektoral. Dukungan yang belum maksimal, serta stigma dan diskriminasi terhadap TBC. Penderita TBC,” tegasnya. Saksikan video “Kemenkes jelaskan cara pengobatan TBC pada anak” (avk/kna)