Jakarta –
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saxono Harbuwono mengatakan, kenaikan tarif standar kelas rawat inap (KRIS), BPJS Kesehatan Kelas 1, 2, dan 3 masih dalam pembahasan. Sejumlah kementerian, antara lain Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS, dan Kementerian Kesehatan sedang mengevaluasi kemungkinan perubahan iuran.
Pihaknya mengklaim kontribusinya akan sebesar-besarnya agar tidak membebani masyarakat. “Selanjutnya kita akan keluarkan tarif yang paling terjangkau yang bisa diterima masyarakat, tidak memberatkan masyarakat, dan usulan anggota dewan juga akan kita masukkan dalam penilaian TCC yang akan dinilai terlebih dahulu. diidentifikasi atau ditunda sementara jika tetap berjalan,” jelasnya dalam pertemuan tersebut. Bekerja sama dengan Komisi IX DPR RI pada Jumat (6/6/2024).
Di sisi lain, kekhawatiran kekurangan tempat tidur ditanggapi Wamenkes dengan membatasi jumlah tempat tidur dalam satu ruangan maksimal 4 TT demi kenyamanan pasien. Sejumlah pihak, termasuk beberapa anggota DPR, khawatir pembatasan tersebut akan memperpanjang antrian rumah sakit dan membuat banyak pasien tidak bisa berobat sehingga terpaksa dipindahkan ke rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS.
Menurut dia, hal tersebut tidak akan terjadi karena Kekurangan Tempat Tidur (BDS) akibat diberlakukannya Puskesmas hanya sekitar 9,1 persen dari total tempat tidur yang tersedia di Puskesmas.
Selain itu, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) masing-masing sebesar 50 hingga 60 persen.
“Kita sudah mendaftarkan 253.124 tempat tidur, dan jika TP diterapkan maka potensi kehilangan TP sebanyak 23.227 TP atau setara dengan 9,1 persen dari seluruh TP yang dirawat BPJS,” ujarnya.
“Anda tidak perlu menurunkan ekuitas masyarakat untuk masuk rumah sakit untuk kehilangan TT itu, mengapa?” Tidak semua rumah sakit memiliki BOR yang sama, secara umum BOR di rumah sakit kita 50-60 persen, sehingga diterapkan pada praktiknya. , itu turunkan TT, naikkan BOR, ini soal pemerataan,” ujarnya.
Terkait hal tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Profesor Gufron Ali Mukti mengatakan hingga saat ini belum ada perubahan aturan iuran BPJS Kesehatan. Namun, kata dia, ke depan ketika KRIS mulai berlaku, akan dilakukan penilaian setelah ada perbaikan dari BPJS Kesehatan Kelas 1, 2, dan 3.
Oleh karena itu, dari segi besaran iuran, karena Perpres 59 merupakan penyempurnaan, bukan pengganti, melainkan penyempurnaan dari Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur besaran iuran peserta PBPU dan non-karyawan. Peserta yang menggunakan jasa kelas III,” jelasnya dalam pertemuan tersebut. IX DPR bersama Komisi RI, Kamis (6/6/2024).
Khusus untuk skema iuran sebesar lima persen pendapatan untuk sektor formal, tidak ada keraguan mengenai perubahan di masa depan. Seperti diketahui, di sektor formal, sebagai PPU, pendapatannya akan terlihat sebesar 5 persen dari batas UMP. 5 persen disumbangkan oleh pemberi kerja, 4 persen, dan 1 persen oleh pekerja. Simak video “Wakil Menteri Kesehatan disemprot obat oleh anggota DPR terkait KRIS BPJS Kesehatan” (naf/kna).