Jakarta –

Ancaman resesi kembali menghampiri Amerika Serikat (AS). Potensi resesi di AS muncul setelah indikator Sama rule meningkat.

Melansir Guardian, Selasa (8/6/2024), terdapat risiko resesi karena rata-rata tingkat pengangguran meningkat dalam tiga bulan terakhir. Tingkat pengangguran bulan Juli meningkat dari 4,1% menjadi 4,3%.

Di sisi lain, kekhawatiran akan terjadinya resesi di AS mencengkeram pasar global dan menyebabkan jatuhnya pasar saham. Pasalnya, banyak investor di Asia, Eropa, dan Amerika Utara yang menjual sahamnya.

Akankah ancaman resesi Amerika berdampak pada Indonesia? Ekonom Senior Bank DBS Radhika Rao mengaku tidak memperkirakan AS akan mengalami resesi. Namun menurut perkiraan, pertumbuhan ekonomi AS akan melambat pada paruh kedua tahun 2024 sebesar 1-1,5%.

“Kami tidak memperkirakannya saat ini, namun kami akan merasakan perlambatan pada paruh kedua tahun ini. Pertumbuhan ekonomi Amerika masih di atas 1%. Namun, jika Amerika melambat, dampak ekonominya tidak akan terlalu signifikan,” kata Radhika dalam wawancara kelompok dengan DBS. Bank Ekonom, Jakarta Selatan, Selasa (7/6/2024).

Menurut dia, jika pertumbuhan ekonomi AS turun 1%, maka perekonomian Indonesia diperkirakan akan melambat 15-20 basis poin. Dengan demikian, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 4,5% pada akhir tahun 2024.

Ia juga menegaskan, dalam hal perdagangan dan investasi, Indonesia lebih condong ke Tiongkok dan beberapa negara Asia lainnya. Tiongkok kini melampaui Amerika Serikat dalam perdagangan dan investasi dalam negeri.

“Tiongkok juga bisa menggantikan posisi Amerika, dan dalam pandangan kami, dampaknya juga diperkirakan akan berkurang jika pemulihan Tiongkok masih sejalan dengan rencana penggunaan jalur ekonomi positif untuk pertumbuhannya,” jelasnya.

Ia kemudian menjelaskan tanda-tanda Amerika sedang mengalami resesi. Tanda ini juga berlaku bagi seluruh negara di dunia yang berada di ambang resesi. Pertama, penjualan di sektor ritel secara umum tidak menentu. Hal itu berdasarkan data ketenagakerjaan AS yang menunjukkan sejumlah perusahaan masih menambah lapangan kerja baru.

Selain itu, perlu diperhatikan data lain seperti penjualan barang tahan lama, penjualan rumah, sepeda motor, atau barang tahan lama.

“Sebenarnya tidak seburuk itu, hanya saja mungkin tidak seburuk yang diperkirakan. Jadi selama jumlah tenaga kerja terus bertambah, tetap saja penetrasi. Jadi reaksi pasar mungkin karena bisa jadi alasan jual dulu. Mungkin ini keuntungan pertama,” imbuhnya. (ara)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *