Jakarta –
BPS mencatat inflasi tahun kalender atau year to date (YTD) pada Desember 2024 sebesar 1,57%, terendah sejak perhitungan inflasi BPS. Angka tersebut bahkan lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2020 yang sebesar 1,68% pada masa pandemi COVID-19.
BPS menilai penyebab utama rendahnya inflasi tersebut adalah turunnya harga bahan pangan, setelah sebelumnya mengalami kenaikan tinggi pada tahun 2022 dan 2023. Namun, peneliti Institute for Demographic and Welfare Studies (IDEAS) Tira Mutiara menilai rendahnya inflasi pada 2024 akan terpengaruh. Menurunnya daya beli masyarakat.
Tira mengatakan, menurunnya daya beli akibat banyaknya kelas menengah yang keluar dari kasta. Selain itu, terdapat ketidakpastian mengenai arah kebijakan pemerintah, termasuk dinamika terkait rencana kenaikan PPN sebesar 12%.
Penurunan daya beli masyarakat terlihat dari data konsumsi rumah tangga. Sejak triwulan IV tahun 2023, pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi, kata Tira dalam keterangannya, Jumat (1/3/2024).
Tira menjelaskan, berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi terlihat mencapai 5,04% secara tahunan (YoY) pada kuartal IV tahun 2023. Sementara itu, konsumsi rumah tangga hanya meningkat sebesar 4,46% (year-on-year). Tren tersebut berlanjut pada kuartal I-2024 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11% (y/y) dan konsumsi rumah tangga sebesar 4,91% (y/y).
Pada triwulan II hingga III tahun 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami stagnasi sebesar 4,91% (year-on-year), masing-masing di bawah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% dan 4,95% (year-on-year).
“Selanjutnya, penurunan konsumsi terlihat pada Indeks Keyakinan Konsumen (IHK). Pada Juni 2024, IHK tercatat sebesar 123,3, turun dibandingkan Mei 2024 sebesar 125,2,” tambah Tira.
Tiro menambahkan, pada bulan Juli dan Agustus IKK mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 123,4 dan 124,4, namun pada bulan berikutnya IKK kembali menurun yaitu pada bulan September sebesar 123,5 dan pada bulan Oktober sebesar 121,1.
Dalam survei konsumen BI terlihat masyarakat dengan pengeluaran 3,1-4 juta. Kelompok yang mengalami penurunan IKK paling dalam pada bulan Oktober adalah Rp sebesar 5,7 poin. Diikuti oleh kelompok pengeluaran sebesar 4,1-5 juta. IDR yang mengalami penurunan sebesar 1,9 poin. Kelompok pembelanjaan RP 2,1-3 juta juga turun 1,2 poin.
Dari data tersebut, Tira melihat kelompok kelas menengah merupakan kelompok yang paling banyak turun harga dirinya. Ia memperkirakan rendahnya konsumsi dan daya beli disebabkan oleh fenomena menurunnya jumlah kelas menengah yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kelas menengah berperan dalam mendukung konsumsi domestik yang lebih tinggi karena mereka mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan kelas atas dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah,” jelas Tira.
Penurunan belanja kelas menengah juga berpotensi menyeret perekonomian terpuruk. Selain itu, ketidakpastian perekonomian dan kebijakan pemerintah menyebabkan pelaku perekonomian, baik perorangan maupun dunia usaha, mengambil sikap wait and see.
Dalam situasi ketidakpastian ini, Tira mengatakan masyarakat enggan mengambil risiko yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Situasi tersebut juga memaksa pelaku ekonomi untuk menunda pengambilan keputusan karena adanya fenomena loss aversion (penghindaran kerugian).
Misalnya saja terkait fenomena kebijakan kenaikan PPN 12%, Tira menilai masyarakat telah mengambil langkah untuk mengendalikan konsumsi dan bersiap menghadapi kenaikan PPN, meski pada akhirnya kebijakan tersebut dicabut. Perubahan sikap pemerintah dalam pengambilan keputusan berdampak besar terhadap dinamika perekonomian.
“Dalam kondisi ini, pemerintah diharapkan dapat memberikan sinyal positif dan kepastian terhadap kebijakan yang akan diambil untuk menghidupkan kembali perekonomian Indonesia yang stagnan,” tegas Tira. (acd/acd)