Jakarta –
Lembaga Penelitian Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa melakukan kajian mengenai kesejahteraan guru di Indonesia. Berdasarkan hasil survei, sebagian besar gaji guru ternama di Indonesia berada di bawah Rp 2 juta.
Survei menunjukkan 42% guru berpenghasilan kurang dari Rp2 juta per bulan dan 13% di antaranya berpenghasilan kurang dari Rp500.000 per bulan, kata peneliti IDAS, Muhammad Anwar, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21). /05/2024).
Anwar kemudian menambahkan, jika dianalisa datanya secara detail, status sosial guru honorer/kontrak tersebut tergolong rendah. 74% guru terhormat berpenghasilan kurang dari Rp 2 juta per bulan, 20,5% di antaranya berpenghasilan kurang dari Rp 500 ribu.
Nama ini masih berada di bawah Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) se-Indonesia Tahun 2024 yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan UMK sebesar Rp 2.038.005. Artinya, di daerah yang harganya murah pun tetap ada guru, terutama guru terhormat. Mereka harus berjuang untuk memenuhi kebutuhannya,” kata Anwar.
Mengenai rata-rata jumlah tanggungan tiga anggota keluarga, Anwar mengatakan 89% guru terhormat merasa pendapatan yang mereka peroleh dari mengajar rendah atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hanya 11 persen responden yang mengaku punya cukup uang dan masih punya sisa uang. Oleh karena itu, Anwar menegaskan, ada berbagai upaya yang dilakukan Gun of Honor untuk bisa bertahan. Salah satunya mempunyai pekerjaan sampingan.
“Dalam survei ini terlihat 55,8% guru mempunyai penghasilan tambahan dari pekerjaan lain. Namun meski penghasilan tambahan tersebut tidak signifikan, banyak guru yang mengalami masalah ini mendapatkan penghasilan di bawah Rp 500,” kata mereka. Anwar.
Enam penghargaan favorit bagi guru yang dihormati adalah mengajar atau pelatihan mandiri (39,1%), perdagangan (29,3%), pertanian (12,8%), pekerja (4,4%), desainer konten (4%), dan pengendara sepeda motor online (3,1). %). Namun, kurangnya dana sebagai guru dan pekerjaan sampingan membuat para guru ternama harus berhutang untuk bertahan hidup. Sekitar 79,8% responden mengaku saat ini terlilit hutang.
“Guru mengaku mempunyai utang ke bank/BPR 52,6%, keluarga atau saudara 19,3%, koperasi simpan pinjam 13,7%, teman atau tetangga 8,7% dan dari internet 5,2%,” kata Anwar.
Pada saat darurat, 56% responden mengaku telah menjual atau menjual barang-barang berharga miliknya. Barang yang dibeli antara lain emas perhiasan (38,5%), asuransi mobil (14%), sertifikat rumah/tanah (13%), sepeda motor (11,4%), emas pernikahan (4,3%) dan PNS (3,9%).
“Akibat menurunnya kualitas guru, kami melihat tekad guru Indonesia sangat menggembirakan, terlihat dari keinginan 93,5 persen responden untuk terus berkarya dan menebar ilmu sebagai guru hingga meninggal dunia, meski kesehatan banyak yang terpuruk. tidak cukup,” jelas Anwar.
Kepala Great Edunesia Dompet Dhuafa Asep Hendriana pun membenarkan penemuan tersebut. Ia mengatakan, hal serupa biasanya didapat sekolahnya jika didampingi oleh guru yang berprofesi tersebut.
“Sepengetahuan organisasi kami, berkurangnya bantuan dalam bidang pengajaran tidak pernah menyurutkan keinginan mereka untuk terus mengajar hingga tua karena mereka menganggapnya sebagai pekerjaan,” tambah Asep.
Asep pun menilai, pemerintah di tengah daerah harusnya menyikapi permasalahan ini dengan serius. Selain masalah sosial, Asep menyadari perlunya sekolah untuk mendukung guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran mereka melalui pelatihan, pendampingan dan program pengembangan profesional lainnya.
Sebagai informasi, survei online dilakukan terhadap 403 guru di 25 kabupaten dengan 2 responden dari Pulau Jawa dan 112 orang di luar Pulau Jawa. Responden survei antara lain berstatus guru PNS sebanyak 123 orang, guru tetap sebanyak 118 orang, guru honorer atau kontrak sebanyak 117 orang, dan guru PPPK sebanyak 45 orang. (rd/rir)