Jakarta –
Read More : Argentina Juara Copa America 2024
Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo buka suara menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025. Kebijakan tersebut dinilai tidak adil.
Video yang diunggah di akun YouTube pribadinya, kata Ganjar, menyoroti kenaikan PPN sebagai kebijakan yang menyengsarakan kehidupan masyarakat.
“Sobat, hari ini kita menghadapi kebijakan penyakit kecil yang bisa menambah hajat hidup masyarakat. Kenaikan pajak atau PPN sudah menjadi 12%, dikutip hingga Kamis (19/12/2024/2024).
Dijelaskannya, dengan kenaikan PPN hingga 12%, Indonesia menjadi negara dengan PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina. Faktanya, banyak negara Asean yang memiliki pendapatan perpita lebih tinggi dibandingkan Indonesia namun menerapkan kebijakan yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia.
Calon presiden 2024 ini mengatakan, hanya Malaysia yang menggunakan PPN hanya 8%, Singapura hanya 7%, dan Thailand juga hanya 7%.
“Kalaupun negara itu pendapatannya lebih tinggi dari pendapatannya yang lebih tinggi, begitulah keadaannya,” kata Ganjar.
Ia melanjutkan kebijakan PPN 12% dinilai memberikan pukulan telak bagi masyarakat kelas menengah miskin. Dengan kenaikan PPN 12% Ganjar menjelaskan setiap bulannya keluarga miskin akan terkena dampak sebesar RP 101.880, kelompok rentan miskin diperkirakan akan menanggung biaya hingga RP 354.293.
“Tentu ada niat baik dalam kebijakan ini. Tapi bisa saja datang di saat yang salah. Budaya yang paling sulit akan menyambut kelompok yang paling rentan,” kata Ganjar.
Di atas kertas, kebijakan kenaikan pajak mampu meningkatkan pendapatan negara. Namun di lapangan, Ganjar menilai kebijakan tersebut memaksa masyarakat untuk makan lebih sedikit atau berkorban.
“Ini bukan tentang menyalahkan, tapi tentang mengajukan pertanyaan yang patut ditanyakan.” Keadilan ini? Dia mengatakan pertanyaan itu.
Ganjar meyakini semua orang tahu bahwa pajak merupakan sumber pendapatan utama negara. Dengan pajak, negara mempunyai peluang untuk membiayai pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga perlindungan masyarakat bagi kelompok miskin dan rentan. Namun jika pajak dikelola dengan kebijaksanaan yang tidak rasional, maka pemerintah bergantung pada utang dari sumber pembiayaan yang tidak seimbang atau dari sumber pembiayaan yang tidak dapat diubah dan akan sangat terbebani di kemudian hari.
“Dalam situasi perekonomian saat ini, diperlukan kebijakan fiskal yang tepat dan tepat. Mampu meningkatkan pendapatan daerah tanpa membuka daya beli masyarakat atau mengganggu pertumbuhan ekonomi,” tutupnya. (Satu / RRD)