Jakarta –
Buku ini agak tipis menceritakan kisah Elisa Lumbantoruan yang begitu kaya pengalaman. Meski demikian, buku “tipis” karya Riniwaty Makmur ini setidaknya menunjukkan sejumlah nilai atau prinsip hidup yang patut dipelajari baik oleh kalangan profesional maupun masyarakat awam. Sebab nilai-nilai atau prinsip tersebut diungkapkan Elisa dengan mengacu pada pengalaman pribadinya secara langsung, bukan hanya dari teori manajemen yang rumit.
Elisa yang lahir di Siborong-borong, 19 Juli 1960, belajar dari masa remajanya bahwa tidak mudah menyalahkan orang lain. Beradaptasi dengan lingkungan dan menerima kenyataan merupakan sikap paling realistis dalam upaya mempengaruhi dan mengubah lingkungan ke arah yang kita inginkan daripada menyalahkan pihak lain.
Ketika guru jarang datang ke sekolahnya, ia menerima kondisi tersebut sambil menyemangati dirinya untuk mandiri. Pelajari lebih lanjut sendiri daripada membolos kelas nanti. Itu adalah pelajaran pertama dari Elísa yang kemudian ia ikuti sebagai seorang profesional. Sebagai seorang sarjana matematika di ITB, Elisa fokus pada bidang Teknologi Informasi (TI). Namun, ada suatu masa di Garuda ketika ia tiba-tiba harus berpindah dari Direktur Strategi dan TI menjadi Chief Financial Officer pada tahun 2010.
“Proyek ini sangat menantang karena saya tidak memiliki pendidikan dan pengalaman dalam pengelolaan keuangan perusahaan. Saya hanya menyelesaikan pelatihan keuangan untuk orang-orang yang bekerja di bidang selain keuangan,” ujarnya.
Tentu saja Elisa tidak menyerah. Dengan kegigihannya dalam belajar, hasilnya sungguh luar biasa. Garuda bisa merestrukturisasi utangnya dengan Eropa dan mengatasi saldo laba negatif lebih dari Rp 6 triliun. Elise pun berhasil mengubah status Col-5, yakni ketidakmampuan membayar utang bank hanya dalam waktu satu tahun. Alhasil, Garuda kembali mendapat pinjaman US$50 juta. Atas kerja keras dan prestasinya, Elisa terpilih sebagai Best of the Best Financial Manager of the Year 2012 versi Majalah SWA.
Elisa, seperti halnya Riniwat sebagai penulis, sepertinya sengaja membatasi liputan karya Elisa tentang Garuda. Kebingungan dan gesekan antara Elisa dan Emirsyah Satar selaku Direktur Garuda sama sekali tidak dibicarakan. Sejauh ini, hanya tindakan Elisa yang tampaknya sepenuhnya berada di jalur yang benar. Saya berharap akan ada buku lain yang lebih jelas.
Setelah keluar dari ITB pada tahun 1985, Elisa Lumbantoruan memulai karirnya sebagai salesperson di Astra Graphia selama 10 tahun. Ia kemudian berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain di bidang TI, dan pada usia 42 tahun, ia mengambil alih sebagai CEO PT Hewlett-Packard Indonesia, jaringan perusahaan TI global yang berbasis di Amerika Serikat. Keberhasilan tersebut membuat dirinya mendapat perhatian Menteri BUMN Sofyan Djalil untuk membantu kemajuan Garuda Indonesia.
Elisa mengundurkan diri dari Garuda pada tahun 2013. Kiprahnya kemudian menjadi sorotan saat terungkap bahwa dirinya adalah CEO PT ISS Indonesia yang bergerak di bidang konstruksi dan parkir. Beberapa orang yang skeptis mungkin memandangnya dengan curiga seolah-olah dia telah beralih dari mengemudikan Garuda ke merawat toilet dan tempat parkir. Namun secara obyektif hal ini tidak terjadi.
Memadukan profesionalisme yang melekat dengan nilai-nilai budaya Batak dan agama Kristen yang dianutnya, Elisa diketahui sukses memotivasi puluhan ribu karyawan ISS. Dari yang semula menunduk malu saat ditanya profesinya, berubah menjadi sombong. Karena kebanggaan ini, mereka mencintai pekerjaannya. Manajemen ISS di Denmark kemudian mengadopsi langkah Elisa karena terbukti meningkatkan kinerja karyawan.
Kembali ke pentingnya adaptasi, Elisa Lumbantoruan menambahkan prinsip selalu berpikir positif dan fokus pada solusi. Menurut dia, prinsip ini akan mengurangi beban. Karena segala sesuatu selalu mempunyai sisi positif dan negatifnya. Kita ingin memilih yang mana?
Mengenai judul buku “Sederhanakan Kompleksitas” menurut Elisa, dengan menyederhanakan kompleksitas berarti kita melihat suatu permasalahan atau keadaan apa adanya. Tanpa menyalahkan faksi lain, apalagi terjebak dalam konspirasi. Ia percaya bahwa untuk setiap permasalahan kompleks terdapat banyak solusi sederhana. Daripada sibuk menyalahkan pihak lain, segera temukan solusi terbaik melalui faktor-faktor yang kita kendalikan.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, bagaimana Elisa Lumbantoruan memandang situasi pekerjaan dan keluarga? Ia seolah mengibaratkan keluarga seperti bola kaca yang perlu dijaga agar tidak jatuh dan pecah. Jadi keluarga adalah yang utama. Dia menekankan bahwa dia bekerja keras untuk keluarganya. Dia harus menjaga kesehatan keluarga. Juga motivasi untuk berbuat sesuatu demi keluarga.
“Jadi saya tidak akan pernah bisa mengalahkan urusan keluarga. Keluarga selalu menjadi prioritas saya,” ujarnya.
Sedangkan usaha diibaratkan seperti bola karet. Meski jatuh, tidak pecah, melainkan memantul kembali. Jadi jangan khawatir, kami akan selalu mencari pekerjaan. “Kalau saya dipecat karena suatu pekerjaan, saya tidak peduli, saya akan mencari pekerjaan,” ujarnya. (jat/fdl)