Jakarta –

Perilaku merokok pada anak dan remaja di Indonesia sering menjadi perbincangan. Upaya pengendalian terus dilakukan, namun peraturan yang ketat tidak selalu merespon permasalahan dan terkadang menimbulkan permasalahan baru.

Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang terakhir dilakukan pada tahun 2019, perilaku merokok ditemukan pada 19,2 persen pelajar usia 13-15 tahun di Indonesia. Angka tersebut justru meningkat sebesar 18,3 persen dibandingkan hasil survei yang sama pada tahun 2016.

Namun di sisi lain, data terkini Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan tren penurunan. Jumlah perokok yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir tercatat sebesar 4,6 persen, perokok sesekali sebesar 2,8 persen, dan mantan perokok pada kelompok usia ini sebesar 0,9 persen.

Pengaruh iklan dan promosi rokok disebut-sebut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengaruh perokok muda. GYTS 2019 mengungkapkan bahwa remaja paling banyak terpapar iklan rokok dan iklan melalui televisi dan di dalam toko, yaitu sebesar 65,2 persen.

Poin ini merupakan salah satu usulan perubahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penerapan Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023 tentang Keamanan Obat.

M Rafik, Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), menilai pembuatan peraturan yang tidak menyertakan industri kreatif dapat mengancam stabilitas industri. Kekhawatiran tersebut pun ia sampaikan melalui surat yang ditulis kepada Presiden.

Rafiq dalam keterangannya, Selasa (21/5/2024), mengatakan, “Tujuannya bukan untuk menentang, tapi kami minta ikut serta, meminta masukan untuk mengemukakan kemungkinan atau permasalahan dari sudut pandang kami, karena semuanya bisa dikelola dengan baik. ,” kata Rafiq, Selasa (21/5/2024).

Persoalan lain yang disorot adalah terkait penggunaan rokok elektronik dan vaping. Ketua Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof. Agus Dwi Susanto mengatakan, terjadi peningkatan penggunaan vaping pada kelompok usia 15 tahun selama 10 tahun terakhir.

Penelitian yang dilakukan PDPI terhadap siswa SMA di Jakarta menunjukkan bahwa persepsi rokok elektrik sebagai alternatif yang tidak terlalu berbahaya membuat produk tersebut lebih dapat diterima di kalangan remaja. Namun, pandangan mengenai dampak rokok elektrik masih diperdebatkan.

Di sisi lain, Garindra Kartasmita, Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), mengatakan banyak pengusaha rokok elektrik yang menunda investasi di Indonesia karena kontroversi peraturan baru tersebut. Ia mengatakan, para pedagang yang datang ke diskusi tidak diberi ruang yang cukup untuk berdiskusi.

“Dalam pembentukan RPP ini, kami menemukan pihak yang berimbang tidak diberikan cukup waktu dan ruang untuk berdiskusi, apalagi,” ujarnya.

Berbagai usulan kenaikan harga jual juga bukannya tanpa risiko, mengingat daya beli yang konon memudahkan akses remaja terhadap produk rokok. Asisten Deputi Bidang Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Eko Harjanto menilai, pembatasan tersebut justru membuka peluang bagi rokok ilegal.

“Dari sisi sosial, rokok ilegal menyebabkan peningkatan jumlah perokok terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena harganya yang terjangkau sehingga pada akhirnya dapat dibeli oleh anak-anak,” dia. dikatakan Saksikan video “Kementerian Kesehatan Tentang Regulasi Rokok Elektrik di Indonesia” (atas/atas).

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *