Semarang –

Di Plumban, Semarang, terdapat kuburan massal korban G30S yang diakui resmi oleh UNESCO.

Mausoleum ini menjadi saksi peninggalan sejarah hitam Indonesia pada periode 1965-1966 yang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB.

Dikutip dari situs resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Comnas Ham), terjadi percobaan kudeta di Indonesia yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menewaskan beberapa jenderal. Fenomena ini dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S).

Selanjutnya, Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), menuduh PKI mendalangi G30S. Soeharto kemudian berencana melenyapkan pihak-pihak yang terkait dengan PKI. Sejarah kuburan massal korban G30S, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, diikuti banyak pembantaian.

Bagaimana sejarah kuburan massal korban G30S di Plumban Semarang hingga diakui UNESCO? Yuk simak penjelasan lengkapnya yang dihimpun dari situs resmi CIPDH UNESCO di bawah ini!

Sejarah kuburan massal korban Gerakan 30 September (G30S) di Palamban, Semarang diawali dengan peristiwa tragis tahun 1965-1966. Saat itu, militer berupaya membunuh enam jenderal yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pasca kudeta yang gagal, terjadi gelombang kekerasan antikomunis yang dipimpin oleh militer pimpinan Jenderal Mohamed Soeharto. Dalam kurun waktu tersebut, puluhan ribu hingga jutaan orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI dibunuh atau dipenjarakan tanpa proses hukum. Di berbagai wilayah di Indonesia, para korban ini dikuburkan bersama di tempat tersembunyi dan jarang terekspos.

Kuburan massal tersebut salah satunya terletak di Palamban, Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2013, sekelompok mahasiswa Universitas Katolik Sogijapranata berhasil mengidentifikasi kuburan massal di Palamban. Penelitian ini didukung oleh mahasiswa Universitas Diponegoro yang kemudian bergabung untuk diteliti lebih lanjut.

Mereka mewawancarai para saksi mata dan berhasil mengidentifikasi banyak korban yang dikuburkan di lokasi tersebut. Proses ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang untuk mengungkap kebenaran mengenai kekerasan massal yang terjadi pada periode tersebut.

Pada November 2014, kuburan massal di Plumban pertama kali diperkenalkan ke publik melalui program berita di stasiun televisi nasional. Seiring meningkatnya perhatian publik, pada 1 Juni 2015, sebuah mausoleum bertuliskan nama delapan korban didirikan di lokasi tersebut. Ini merupakan pengakuan resmi pertama terhadap keberadaan kuburan massal tersebut oleh pemerintah Indonesia.

Mausoleum ini menandai salah satu dari sekian banyak kuburan korban kekerasan yang melanda Indonesia pada tahun 1965-1966. Inisiatif pembangunan mausoleum ini dimotori oleh mahasiswa, aktivis hak asasi manusia dan masyarakat sipil. Berbagai pihak baik warga sekitar, tokoh agama, hingga pejabat pemerintah menghadiri acara peresmian mausoleum tersebut.

Karena pengakuan tersebut, maka situs pemakaman di Plumban secara resmi diklasifikasikan sebagai makam dan selanjutnya sebagai makam kosong. Batu-batu yang menandai lokasi jenazah dibiarkan di tempatnya, sebagai bagian dari upaya untuk menghormati mereka yang tewas dalam kekerasan tersebut. Persatuan Komunitas Masyarakat Hak Asasi Manusia (PMSHA) Semarang berperan penting dalam penandaan kuburan. Mereka mencari kuburan massal lainnya di seluruh Indonesia dan berusaha memberikan upacara penguburan yang layak bagi para korban.

Pada tahun-tahun berikutnya, situs kuburan massal di Plumban mendapat perhatian luas baik di dalam negeri maupun internasional. Upaya mengenang dan mengenang para korban kekerasan 1965-1966 terus mendapat tantangan dari pihak yang masih menolak membicarakan masa lalu secara terbuka. Terobosan besar dalam upaya pengakuan ini terjadi ketika situs kuburan massal di Plumban diusulkan sebagai bagian dari Daftar Warisan Dunia UNESCO.

Proses permohonan sebagai Situs Warisan Dunia didukung oleh berbagai organisasi hak asasi manusia, akademisi, dan pemerintah daerah. Mereka berpendapat bahwa situs ini penting tidak hanya bagi sejarah Indonesia, namun juga sebagai pengingat global akan bahaya kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, pengakuan UNESCO diharapkan dapat membantu Indonesia dalam proses rekonsiliasi dan memberikan penghormatan terhadap para korban yang telah dilupakan selama puluhan tahun.

Setelah berhasil masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO, kuburan massal di Plumban mendapat perlindungan internasional dan menjadi bagian dari Warisan Dunia yang diakui untuk kemaslahatan umat manusia. Hal ini akan menjadi langkah penting dalam upaya Indonesia untuk menghadapi masa lalu kelamnya dan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi yang lebih luas dalam masyarakat.

______________

Baca artikel selengkapnya di DetikJateng Tonton video “Kebakaran Gudang Suku Cadang Semarang, Polisi: Tidak Ada Korban Jiwa” (wkn/wkn).

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *