Jakarta –
Pemerintah menyetujui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang “Seribu Hari Pertama Kehidupan Ibu dan Anak”. Ada praktik yang memperbolehkan pekerja perempuan untuk cuti maksimal 6 bulan setelah menjadi seorang ibu.
Para pekerja khawatir bahwa pengaturan ini akan mengurangi kesempatan kerja bagi perempuan. Sebab, perusahaan memberikan syarat ketat kepada karyawan perempuan agar tidak mengambil cuti melahirkan, misalnya sebagai syarat kerja harus lajang dan belum menikah.
“Sebelum ada undang-undang ini, menurut saya persyaratan pekerja perempuan sudah diperketat. Mungkin ada pengusaha yang memperketat persyaratan kerja bagi perempuan. Misalnya lajang, berpenampilan menarik, dan sebagainya,” kata Meera kepada detikcom. Minggu (7/7/2024).
Menurut dia, hal tersebut bisa jadi disebabkan karena pengusaha belum memahami secara mendalam pentingnya cuti melahirkan dalam UU 4 Tahun 2024.
Ia meminta pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memberi tahu pengusaha agar tidak membatasi kesempatan kerja bagi perempuan segera setelah maksimal 6 bulan masa kehamilan dan persalinan.
“Hal ini bisa terjadi karena pelaku usaha tidak memilih sendiri betapa pentingnya undang-undang kehamilan. Kami ingin menguranginya, sehingga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memberikan edukasi kepada pelaku usaha mengenai undang-undang tersebut,” jelas Meera.
Lantas, benarkah pengusaha bisa memilih pekerja perempuan setelah aturan cuti hamil 6 bulan berlaku?
Wakil Presiden Kebijakan Publik Abindo, Tanang Girindravardhana, mengakui hal tersebut bisa saja terjadi. Ia mengatakan bahwa pengusaha pada dasarnya lebih selektif dalam memilih pekerja perempuan dan lebih sulit bagi pemilik usaha untuk mengambil risiko terhadap produktivitas operasi bisnis mereka.
Bagi Danang, libur panjang menimbulkan kesulitan bagi para pengusaha. Pasalnya, kata dia, pengusaha harus menyiapkan pekerja pengganti saat libur panjang sehingga bisa menimbulkan gangguan produktivitas.
“Apakah pengusaha akan lebih selektif dalam memilih pekerja perempuan? Ya, tentu saja perusahaan tidak akan mempertaruhkan produktivitasnya,” kata Da Nang kepada detikcom.
Da Nang mengatakan, jika cuti melahirkan maksimal 6 bulan diatur, maka akan digunakan mekanisme perilaku selektif atau perjanjian kerja yang saling menguntungkan perusahaan dan pekerja perempuan.
“Pada dasarnya banyak orang yang bekerja di perusahaan jasa, seperti pramugari atau teller bank, dan banyak juga yang pekerjaan tipikalnya perempuan,” jelas Danang.
Di sisi lain, Diana Dewey, Special Area General Manager KADIN Jakarta, mengatakan dunia usaha memiliki preferensi tersendiri dalam merekrut karyawan. Hal ini tidak berarti bahwa pengusaha ingin membatasi kesempatan kerja bagi perempuan.
Soal pegawainya masih lajang atau tidak, ia mengatakan ada beberapa departemen yang perlu mempekerjakan pegawai perempuan yang masih lajang, namun di sisi lain masih banyak posisi yang bisa diisi oleh pegawai yang sudah menikah.
Ia menegaskan, lapangan kerja perempuan masih lebih luas. Menurutnya, tidak boleh ada pihak yang berbicara merendahkan perempuan di tengah banyaknya upaya pembebasan mereka.
“Saat ini kita tahu lapangan pekerjaan bagi perempuan sangat terbuka. Ada kelompok kerja yang membutuhkan perempuan lajang, tapi ada juga yang sudah menikah karena pengalaman. Semua tergantung kebutuhan masing-masing perusahaan,” jelas Diana kepada detikcom.
“Tidak perlu dipisahkan apakah masih lajang atau sudah menikah, karena semua berkaitan dengan logika,” lanjutnya. (subjek objek)