Jakarta –

Menurunnya angka kelahiran dan populasi merupakan salah satu masalah utama Jepang. Situasi ini memaksa banyak sekolah tutup karena jumlah anak yang semakin berkurang.

Salah satunya dialami oleh desa Takigahara di Prefektur Ishikawa. Sekolah-sekolah di Takigahara telah ditutup selama lebih dari satu dekade karena jumlah anak yang bersekolah tidak mencukupi.

Seperti dikutip The World, sejak abad ke-20, banyak anak muda yang memutuskan pindah ke kota untuk bekerja di perkantoran dan pabrik. Mereka memilih bekerja sebagai penggarap di ladang atau hutan.

Tanpa disadari, warga desa Takigahara mengubah salah satu taman kanak-kanak yang ditutup menjadi pusat komunitas komunitas. Bahkan, belakangan sekolah tersebut ‘disulap’ menjadi restoran.

Restoran itu dipenuhi sekitar 30 orang yang tinggal di Takigahara dan kota-kota sekitarnya. Mereka datang ke sebuah acara bernama Satoyama Shokudo atau Kafetaria Satoyama.

Siapa pun dapat mengunjungi acara tersebut dua kali sebulan untuk menikmati hidangan makan siang yang diolah dari bahan-bahan lokal. Uang yang dikeluarkan hanya 1.000 yen atau sekitar Rp 107.000.

“Kami bisa bertemu orang-orang dari segala usia yang biasanya tidak kami temui,” kata Shoko Ogawa, 38, seorang warga. Ogawa tinggal di luar kedai, yang masih menjadi tempat sekolah. Dia memutuskan untuk tinggal di sana karena dia memiliki seorang putri. Takigahara hanya memiliki satu anak tersisa

Saat ini, Takigahara hanya memiliki satu anak tersisa. Dia adalah Kanta Hoshi yang berusia 11 tahun. Ibunya, Kotomi, dulu mengatakan bahwa dia masih bisa bersekolah di desa.

Meski membesarkan Kanta akan lebih mudah jika pindah ke kota besar, Kotomi ingin putranya tumbuh di tempat yang sama.

“Saat dia masih kecil, saya ingin anak saya merasakan pengalaman seperti tinggal dekat dengan alam dan bermain di sungai. Hal itu tidak bisa Anda dapatkan di tengah kota,” kata Kotomi.

Ketika sekolah ditutup pada tahun 2011, manajer Satoyama Shokudo Yukata Yamashita (77) adalah presiden kotamadya Takigahara. Ia mengaku sedih karena sekolah tersebut diliburkan sehingga ia memikirkan bagaimana cara memanfaatkan sekolah tersebut.

Mereka ingin sekolah menjadi pusat komunitas bagi warga untuk berkumpul.

“Saya pikir hilangnya sekolah itu sama saja dengan hilangnya pusat komunitas kami, jadi saya memikirkan cara untuk memanfaatkan ruang tersebut,” kata Yukata.

Selain diubah menjadi food court, sekolah yang ditutup tersebut diubah menjadi sekolah alam untuk segala usia. Program ini mencakup berbagai kegiatan seperti melihat kunang-kunang dan memetik daun liar untuk dijadikan teh. Tonton video “Warga Enggan Menikah, Populasi Jepang Alami Penurunan 15 Tahun Berturut-turut” (avk/suc)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *