Jakarta –
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 600 juta orang jatuh sakit dan 420.000 meninggal setiap tahunnya karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Tak hanya itu, terdapat risiko penyakit bawaan makanan yang 40 persennya menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun dan menyebabkan 125.000 kematian.
Banyak kasus keracunan makanan (wabah KP) yang jarang terjadi di Indonesia dan belum dilaporkan, sehingga data yang tersedia belum dapat menjelaskan situasi sebenarnya penyebaran KP di masyarakat.
Berdasarkan Sistem Pelaporan Masyarakat Keracunan KLB-KP Tahun 2023 (SPIMKer), kasus KLB KP terbanyak berasal dari kegiatan memasak di rumah (53 persen), disusul oleh toko makanan ringan keliling (18 persen) dan jasa katering (18 persen).
“Profil ini menunjukkan perlunya perbaikan praktik pengolahan pangan yang dilakukan oleh masyarakat konsumen dan usaha mikro atau kecil di bidang pangan olahan. Penerapan praktik manufaktur yang baik di seluruh tahapan pengolahan/produksi pangan merupakan bidang penting untuk mencegah pangan menjadi tidak sehat. terkontaminasi dan keracunan makanan kepada masyarakat.” El Rizka Andalucia, Ketua Pelaksana BPM RI untuk melakukan pencegahan, dikutip dari situs BPOM, Senin (7/7/2024).
Selain wabah KP, permasalahan lain yang dihadapi Indonesia adalah meningkatnya risiko penyakit tidak menular (PTM) terkait dengan pola konsumsi masyarakat saat ini.
Saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (4/7), Rizka menjelaskan, pangan yang tidak aman menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit tidak menular.
“Dari mulai menyediakan pangan yang tidak aman, bersifat karsinogenik, yang membahayakan kesehatan kita, menyediakan pangan yang tidak diatur, hingga pangan tidak sehat yang banyak mengandung garam, gula, dan lemak, yang dapat menjadi pilihan masyarakat. ,” dia melanjutkan.
Sebagian besar penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan diabetes disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat, kata Ritzka.
Rizka berkata, “Dari kecil sampai tua. Yang lama juga akhirnya menumpuk.”
“Ini terutama karena pola makan yang tidak sehat,” katanya.
Merujuk pada strategi pengendalian penyakit tidak menular WHO, BPM telah mengeluarkan kebijakan pelabelan gizi pada label atau on-pack (FOPNL) melalui Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021 tentang informasi gizi pada label pangan olahan.
Saat ini terdapat 2 sistem FOPNL yang dapat diadopsi oleh industri makanan olahan, yaitu Pedoman Asupan Gizi Harian Monokrom dan Logo Pilihan Sehat (PLS).
Pangan olahan yang berlogo PLS berarti produk tersebut memenuhi kriteria “lebih sehat” berdasarkan kandungan gizinya dibandingkan produk yang sama apabila dikonsumsi dalam jumlah yang sama.
“Pelaksanaan FOPNL masih bersifat sukarela. Namun BPM terus mendorong dan mendorong pelaku usaha untuk mencantumkannya pada label kemasan pangan olahan dan menghasilkan pangan yang memenuhi kriteria ‘lebih sehat’,” kata Ritzka.
Direktur BPM menjelaskan, “Logo PLS dapat membantu masyarakat dalam mengambil keputusan membeli suatu produk, sehingga diharapkan dapat mengurangi konsumsi GGL untuk mengendalikan risiko PTM. Simak video “BPOM RI Ingin Tiru Label ‘Nutri-Grade’ Singapura” (suc/kna)