Thimphu –

Tampaknya, Nepal bukan satu-satunya negara yang memiliki bandara yang sulit dan menantang. Namun siapa sangka mendarat di bandara Bhutan begitu sulit.

Seperti dilansir CNN International, Rabu (18/9/2024), bandara Bhutan dinamakan Bandara Internasional Paro (PBH). Secara teknis, kesulitan memaksa pesawat untuk bermanuver di landasan pendek antara dua puncak setinggi 18.000 kaki sangatlah luar biasa.

Manuver ini juga membutuhkan mental baja seorang pilot. Hanya pilot pemberani yang turun ke lapangan terbang.

Kondisi bentang alam yang unik menyebabkan adanya peraturan khusus untuk penerbangan, sehingga jumbo jet tidak dapat digunakan untuk penerbangan dari dan ke Bandara Paro.

“Paro sulit tapi tidak berbahaya,” kata Kapten Chimi Dorji, yang telah bekerja di maskapai penerbangan Bhutan Druk Air (alias Royal Bhutan Airlines) selama 25 tahun.

“Itu menantang keterampilan pilot, tapi tidak berbahaya, karena kalau berbahaya, saya tidak akan terbang,” tambahnya.

Kombinasi faktor geografis membuat Paro dan banyak wilayah di Bhutan terlihat menakjubkan. Faktor-faktor ini juga membuat terbang masuk dan keluar Paro menjadi keterampilan yang sangat terspesialisasi.

Paro merupakan bandara Kategori C, artinya pilot harus mendapat pelatihan khusus untuk terbang ke sana.

Mereka harus mendarat secara manual tanpa radar. Seperti yang dikatakan Dorji, penting bagi pilot untuk mengetahui lanskap di sekitar bandara, jika sedikit kacau bisa mendarat di atas rumah.

“Di Paro memang harus punya keterampilan lokal dan keterampilan pengetahuan lokal. Kami menyebutnya pelatihan keterampilan area atau area training atau pelatihan rute dari mana saja di Paro,” kata Dorji kepada CNN Travel.

Bhutan terletak di antara Cina dan India dan 97% wilayah daratannya merupakan pegunungan. Thimphu, ibu kotanya, berada 7.710 kaki (2.350 m) di atas permukaan laut. Paro sedikit lebih rendah, pada ketinggian 7.382 kaki.

“Udara lebih tipis di ketinggian, jadi pada dasarnya pesawat terbang di udara lebih cepat,” jelas Dorji, yang selain pesawat, kini melatih pilot Druk dan awak kabin.

“Kecepatan udara Anda sebenarnya akan sama, tetapi kecepatan udara Anda akan lebih cepat dibandingkan kecepatan darat.”

Variabel lain yang perlu dipertimbangkan adalah cuaca. Pejabat bandara lebih memilih semua pesawat mendarat sebelum tengah hari untuk keamanan optimal karena kondisi angin kencang.

“Kami berusaha menghindari pengoperasian setelah tengah hari karena ketika banyak angin panas, suhu meningkat, hujan masih belum reda,” kata Dorjee.

“Jadi tanahnya kering, banyak lubang runtuhan ini. Sorenya semua angin anabatic/katabatic di lembah. Paginya lebih tenang,” jelasnya.

Namun, hal ini tidak menjadi masalah, sehingga wisatawan dapat mengandalkan tidur malam yang lebih nyenyak pada malam terakhir mereka di Bhutan.

Sedangkan penerbangan malam ke Paro tidak ada. Bukan karena musim, tapi karena kurangnya radar.

Beberapa shelter harus dibuat pada musim hujan, biasanya antara bulan Juni dan Agustus. Badai petir tidak jarang terjadi selama ini dengan hujan es yang bisa mencapai ukuran bola golf.

“Musim hujan terjadi di sekitar Teluk Benggala. Angin bertiup dari barat laut melintasi Tiongkok dan ada periode hujan selama berhari-hari,” kata Dorji.

Pada akhirnya, katanya, bagian dari pelatihan pilot tidak hanya mengetahui cara terbang, tetapi juga mengetahui kapan tidak boleh terbang dan mampu mengambil keputusan ketika tidak aman untuk lepas landas.

Faktor terakhir dalam kesulitan Paro adalah daerah pegunungan di sekitar bandara. Landasan pacu Paro hanya sepanjang 7.431 kaki dan diapit dua bukit tinggi. Akibatnya, pilot hanya bisa melihat landasan dari udara jika perlu mendarat.

Bhutan hanya memiliki beberapa lusin pilot berlisensi, dan terdapat keharusan nasional untuk merekrut dan melatih pilot-pilot muda di dalam negeri dibandingkan merekrut dari luar negeri.

Calon pilot harus menunjukkan kemampuannya terbang di berbagai musim di Bhutan. Sebagai maskapai penerbangan nasional, Druk Air memikul banyak tanggung jawab untuk pelatihan pilot.

“Saya menganggap diri saya sebagai jembatan antara generasi lama dan generasi baru,” kata Dorji, 43 tahun.

Ia yakin terdapat sekitar 50 pilot berlisensi di Bhutan, namun memperkirakan jumlah tersebut akan meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun ke depan.

“Saya sangat menantikannya,” ujarnya, “Jokowi ingin meniru pariwisata Indonesia. Bhutan: Ada kuota untuk turis asing” (bnl/fem) Simak videonya.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *