Jakarta –
Bali mempunyai beberapa permasalahan. Pengamat pariwisata Azril Azhari meminta pemerintah serius memberikan obat paling mujarab untuk menyembuhkan pulau dewata tersebut.
Sejak Desember 2023, Bali masuk dalam daftar destinasi wisata yang mengalami hiperturisme dunia. Belum lama ini, ledakan eksplosif pariwisata atau hypertourism di Pulau Dewata juga menjadi sorotan media asing yang bermarkas di Singapura.
Bukti perubahan bentang alam Pulau Dewata dari hamparan sawah hijau menjadi tanah coklat hitam berupa bangunan dan munculnya wisatawan nakal yang mengambil alih pekerjaan warga sekitar.
Azril mengatakan Bali sedang tidak baik-baik saja. Dia membenarkan perkiraan media asing yang melebihi Bali. Mau tidak mau, kondisi ini harus disadari oleh pemerintah. Kemudian cari solusinya.
Nah, solusinya terletak pada mencari akar permasalahannya. Azril mengatakan ada yang tidak sinkron antara politik dan keinginan.
Ia mengatakan keinginan pemerintah untuk berpartisipasi dalam penerapan pariwisata berkelanjutan dan menarik wisatawan berkualitas tidak sesuai dengan kebijakan yang diterapkan. Diantaranya, wisatawan mancanegara dimanjakan dengan berbagai layanan bebas visa dan bebas penerbangan.
Padahal, ada dorongan untuk memilih wisatawan yang berkualitas. Yakni di masa pandemi Covid-19.
Ya, epidemi ini telah menyebabkan seluruh dunia mulai menghitung ulang keuntungan dan kerugian dari pariwisata kuantitatif.
Bahkan Azril menjelaskan, perubahan paradigma pariwisata sudah dimulai sebelum tahun 1980, era pariwisata massal/volume dengan atraksi matahari-pasir-laut. Kemudian tahun 1980-2000 adalah wisata alternatif dengan pendekatan keamanan skala kecil sosial budaya).
Mulai tahun 2000-2019/2020, mulai menghadirkan pariwisata berkualitas (ketenangan-spiritualitas-keberlanjutan) yang diapresiasi oleh negara-negara di dunia.
Yang terbaru pada tahun 2019/2020-2022 terjadi pandemi Covid-19 yang menyebabkan perubahan pasar pariwisata dan menjadikan kebersihan sebagai akar pariwisata (safety-sanitation-sustainability). Seluruh dunia bersatu dalam implementasinya.
Pasca pandemi ditandai dengan customized pariwisata atau wisata khusus (minat khusus-miniatur-keselamatan, keamanan, kesehatan).
“Saat ini perilaku pengunjung terfokus pada minat tertentu berupa ekowisata, wisata pertanian seperti Subak,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, subak-subak Bali sudah menjadi hotel atau resort. Padahal, pelayanan Subak yang lengkap dengan sistem pengairan seperti Subak klian, awig-awig dan lain-lain menjadi daya tarik Bali selama ini.
Azril juga mengatakan, pariwisata di Bali dan Indonesia umumnya tidak dihitung secara detail. Ia mengatakan, Indonesia kekurangan pengolahan data seperti Tourism Carrying capacity (TCC), Physical Carrying capacity (PCC) dan Visitor Movement (Time & Motion Study). Begitu pula dengan perencanaan wilayah dan perencanaan wilayah/RTRW (pembagian wilayah).
“Tujuannya bukan jumlah pengunjung (visitor), yaitu wisatawan (wisatawan) dan pelaku perjalanan (traveler), tetapi harus ada informasi lama menginap, jumlah uang yang dikeluarkan (money Expeded) dan partisipasinya. PDB industri pariwisata dan penyerapan tenaga kerja pariwisata,” ujarnya.
Profesor Azril mengatakan, Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini belum memiliki data resmi mengenai pariwisata Indonesia. Data yang ada saat ini hanyalah gabungan dari beberapa sektor seperti hotel, transportasi, dan pariwisata. Kategori-kategori ini dikumpulkan dan digunakan sebagai indikasi keberhasilan pariwisata.
“Saya sering rapat, katanya 10% pendapatannya dari pariwisata, itu bohong, katanya penyandang dana lain, padahal tidak. Pariwisata tidak jadi prioritas,” ujarnya.
Sebagai ahli pariwisata, rumus Tourism Multiplier Effect harus digunakan untuk perhitungan data yang benar. Rumus ini dihitung dengan menggunakan data pengaruh langsung + pengaruh tidak langsung + pengaruh induksi kemudian dibagi dengan pengaruh total.
Berikutnya adalah kebijakan pembebasan visa atau VoA (Visa on Arrival).
“Periksa visa waiver dan visa on Arrival, berlaku hanya resiprositas dan minimal tinggal 2-4 minggu, khusus untuk backpacker,” ujarnya. Saksikan video “Bagaimana Kemenparekraf Cegah Overtourism Saat WWF Bali” (bnl/fem)