Jakarta –
Beberapa asosiasi nelayan menanggapi pernyataan kelompok nelayan yang mengaku membangun pagar di perairan Kabupaten Tangerang. Kelompok nelayan yang diduga membangun pagar tersebut merupakan bagian dari Jaringan Rakyat Pantura (JRP).
Asosiasi menduga pagar sepanjang 30,16 km itu dibangun JRP. Sebab, nelayan tidak mungkin membatasi ruang geraknya dengan alasan apa pun, termasuk penetapan batas wilayah laut.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati. Kiara bahkan percaya bahwa orang-orang tersebut bisa bertindak untuk sekelompok nelayan.
“Bahkan, bisa jadi yang mengatasnamakan nelayan tersebut bukanlah nelayan sungguhan, melainkan perorangan. Karena pada dasarnya kalau bicara perkumpulan nelayan, nelayan mau memagari lautnya karena alasan abrasi,” ujarnya kepada Susan di detikcom, Senin (13/1/2025).
Susan juga menegaskan, pagar tersebut harus didasarkan pada kajian ilmiah terlebih dahulu. Selain itu, pemasangan pagar tersebut juga dilibatkan tenaga ahli dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat. Dia mengatakan, laut itu milik masyarakat, bukan kelompok nelayan.
Ia pun menyimpulkan, tidak mungkin kelompok nelayan itu membangun sendiri pagar tersebut, mengingat panjang pagar tersebut akan mencapai 30,16 km. Karena itu, kata dia, pembangunan pagar laut memerlukan modal yang tidak sedikit.
“Pagar ini tidak mungkin untuk asosiasi nelayan. Itu 30 km, bukan dua meter. Jadi tentu bukan modal kecil dan bisa saja ada yang disembunyikan,” tambah Susan.
Dani Setiawan, Ketua Umum Ikatan Nelayan Tradisional Indonesia, juga mengatakan, dalam membangun pagar laut untuk mencegah abrasi, perlu diperhatikan hal-hal lain, seperti akses terhadap nelayan.
“Ciri-ciri lain yang belakangan ini diklaim dapat mencegah abrasi dapat dibahas. Jika fungsi tersebut dijalankan, tetap perlu memperhatikan akses nelayan terhadap wilayah penangkapan dan jalur penangkapan ikan. Kini terlihat bahwa pagar tersebut akan mengganggu aktivitas penangkapan ikan. aktivitas penangkapan ikan para nelayan,” ujarnya kepada Dani di detikcom.
Ia menjelaskan, privatisasi ruang maritim dilarang oleh Konstitusi. Hal ini diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurutnya, praktik privatisasi ruang maritim bertentangan dengan UUD 1945, karena akan mendorong praktik pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang terkonsentrasi di tangan segelintir pemilik modal, dan tujuan konstitusi adalah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. menggunakan. sumber daya alam untuk pengembangan umat manusia sebesar mungkin belum tercapai.
Dani menjelaskan, meski pagar danau dibangun oleh pemerintah kota, namun pemasangan pagar danau tersebut harus dikaji terlebih dahulu. Selain itu, diperlukan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Dan proyek sebesar ini pasti membutuhkan banyak sumber daya, material, dan karya. Sepertinya (ada artis yang memimpin grup),” tambah Dani.
(acd/acd)