Jakarta –
Penjualan mobil baru pada semester pertama tahun ini di Indonesia mencatat tren negatif. Stimulus fiskal berupa potongan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) diyakini bisa menjadi jalan pintas untuk kembali menggairahkan pasar.
Melalui insentif PPnBM, konsumsi kelompok berpendapatan menengah dan atas dapat didorong. Berdasarkan kajian LPEM UI, penyebab tren negatif penjualan mobil di Indonesia adalah menurunnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, harga mobil meningkat, namun tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan per kapita.
Solusi jangka pendeknya, menurut Peneliti Senior LPEM UI Riyanto, pemerintah harus memberikan stimulus fiskal agar masyarakat menengah atas yang saat ini hampir masuk kategori sejahtera bisa membeli mobil baru.
Berdasarkan data yang dipaparkan Riyanto, terdapat sekitar 18,8 juta rumah tangga kelas menengah atas di Indonesia. Golongan ini mempunyai pengeluaran rumah tangga maksimal sebesar Rp7.426.275.
“Kalau mau nambah rumah tangga menengah ke atas yang 18 juta, ambil 10 persen berarti 1,8 juta, kalau berhasil dapat insentifnya maka pendapatannya naik, atau insentifnya. Mungkin dia mau beli mobil, tapi Tunggu, harga mobil akan turun sedikit, yakni kalau perekonomian bisa diberikan stimulus, maka kelompok 18 juta ini akan membeli sebagian mobil baru, kata Riyanto.
Untuk itu diperlukan paket kebijakan fiskal lain dari pemerintah, misalnya PPnBM yang akan ditanggung pemerintah seperti pada masa pandemi sebelumnya.
“Pemberian insentif fiskal terbukti dapat meningkatkan penjualan,” kata Riyanto.
Di satu sisi, penghapusan sumber penerimaan negara dari PPnBM tentu akan menurunkan penerimaan. Namun tidak menutup kemungkinan hal ini akan diimbangi dengan peningkatan permintaan dan peningkatan produksi dari industri pengolahan.
Dia mengatakan, pertanyaan diskon PPnBM hanya menguntungkan orang kaya adalah tidak benar. Kebijakan khusus untuk meningkatkan industri otomotif dapat berdampak pada kelas menengah dan pekerja.
Masalahnya, kalau insentif fiskal diberikan, orang-orang kaya bisa memanfaatkannya. Itu masalah yang sering berkembang, katanya.
“Jangan terkecoh, industri otomotif, komponen lokalnya, khususnya LCGC, sudah punya 80 persen. Itu jaringan supply chain dari industri otomotif kita sudah sampai ke UKM,” imbuhnya.
Menurut Riyant, lesunya sektor otomotif jika tidak diimbangi dengan langkah yang tepat, maka berpotensi mengganggu perekonomian masyarakat luas.
“Jadi sebenarnya stimulus itu juga bermanfaat, terutama bagi usaha kecil dan menengah, mereka mempekerjakan tenaga kerja yang membutuhkan peningkatan pendapatan, begitu juga dengan masyarakat kita,” lanjutnya.
“Sebenarnya konsumen bukanlah produsen yang menikmati. Insentif harga ini ditanggung konsumen, jadi kalau diberi insentif akan lebih mudah,” tambah Riyanto.
Riyanto juga menambahkan, produsen harus mempunyai strategi untuk menekan biaya produksi.
“Di satu sisi, dari sisi produsen, kita masih bisa mengefisienkan biaya produksi. Jadi sebenarnya kalau bisa, implikasinya adalah memberi diskon,” ujarnya. Simak video “Gaji Tak Naik, Daya Beli Melemah” (riar/kering)