Jakarta –

Read More : Pengamat Ragukan Dugaan Manipulasi Laporan Keuangan Pupuk Indonesia

Chairman PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk atau Mitratel (MTEL) Theodorus Ardi Hartoko menanggapi kehadiran Starlink Elon Musk di Indonesia. Starlink diketahui mampu memenuhi kebutuhan internet satelit tanpa tower.

Menurut Ardi, Mitratel sebagai perusahaan menara Indonesia mengaku tidak merasa bisa bersaing dengan Starlink. Ia pun mengakui perusahaannya mendapat manfaat dari kehadiran Starlink di Indonesia.

“Di manakah posisi Mitrate dalam kaitannya dengan Starlink? Kitalah yang paling diuntungkan dari Starlink. Ini adalah layanan yang idealnya digunakan untuk backhaul, konektivitas broadband yang dapat mengaktifkan BTS, dan idealnya adalah BTS. “Solusi konektivitas terestrial adalah sulit didapat,” kata Jumat (31/5/2024) di Jakarta, ujarnya dalam jumpa pers di kantornya.

Menurutnya, wilayah seperti Jakarta dan Surabaya relatif mudah untuk mengaktifkan BTS, hanya perlu terkoneksi dengan kabel optik. Namun untuk wilayah yang sulit dijangkau, salah satu solusinya adalah dengan menggunakan layanan berbasis satelit.

“Kalau tidak ada fiber, pakai radio antar tower yang kapasitasnya besar, mudah saja. Tapi saya tidak bisa membayangkan kalau di Puncak Jaya wilayah Papua nusantara. Nah, solusi backhaulnya dibutuhkan, salah satu penyedia saat ini adalah layanan satelit berbasis Jio,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia yakin kehadiran Starlink akan membawa peluang positif bagi perusahaan. Mitratel saat ini memiliki kemitraan strategis dengan Starlink melalui Telkomsat. Sebagai satelit Low Earth Orbit (LEO), Starlink digunakan sebagai backhaul infrastruktur di daerah pedesaan dan terpencil.

“Kami melihat ini sebagai peluang. Lalu bagaimana strategi Mitratel? Kami sudah bekerja sama dengan partner kami Telkomsat yang juga merupakan partner pemilik atau satelit Starlink, kami berharap operator kami bisa memfasilitasinya,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Investasi Mitratel mengatakan Starlink menggunakan udara sebagai pemancar sinyal, dimana jarak antara darat dan satelit berkisar antara 500 kilometer hingga 2.000 kilometer. Oleh karena itu, latensi jaringan atau penundaan jaringan memiliki keterbatasan dan potensi.

Namun jika menggunakan jaringan fiber optic maka akan sulit menjangkau daerah terpencil. Selain itu, memerlukan pengeluaran yang besar sehingga berdampak kecil terhadap pendapatan perusahaan.

“Dengan Starlink kita bisa bangun tower di sana. Operator bisa bangun BTS, Starlink kita manfaatkan untuk terhubung ke BTS, jaringan atau backbone sehingga penetrasi ke pelosok mudah dan cepat,” jelasnya.

Dengan skema ini, masyarakat tidak perlu berlangganan Starlink secara langsung. Mereka masih dapat menggunakan kartu seluler biasa dan menikmati layanan internet.

“Dari segi biaya, efisien karena Starlink bisa membagi biaya antar orang yang menggunakan ponselnya, sehingga masyarakat tidak perlu membeli langganan Starlink, tapi bisa menggunakan ponsel biasa, menggunakan kartu berlangganan ponsel biasa tapi sudah bisa melakukan panggilan suara, download data, facebook, dll.” dia menyimpulkan.

(ily/hns)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *