Jakarta –

Read More : 20 Persen Anak RI ‘Fatherless’, Pengasuhan Anak Bukan Cuma Tanggung Jawab Ibu

Masyarakat Korea Selatan, khususnya generasi muda, menemukan kenyamanan dan persahabatan dalam praktik pelestarian batu. Kondisi ini kurang disadari karena tingginya tingkat stres terkait pekerjaan dan perasaan kesepian.

Praktek ini menyebabkan banyak penjaga yang memberi nama, berbicara, dan bahkan memakai batu-batu tersebut seolah-olah itu adalah sesuatu yang hidup. Beberapa pemilik batu bahkan menaruhnya di tempat tidur dan memijatnya.

Seorang peneliti medis bernama Lee (30) mengidentifikasi batu peliharaannya sebagai seorang wanita. Dia akan melihat batu itu dan membuatkan handuk musim dingin untuk hewannya.

“Terkadang saya menangis karena lelah seharian bekerja,” kata Lee, dikutip SCMP, Senin (13/5/2024).

Bukan hanya Lee saja, Koo (33), seorang pekerja kantoran yang memiliki kebiasaan menyimpan batu, juga merasakan hal yang sama. Sejak memegang batu tersebut, Koo mengaku hidupnya sudah tenang.

Ia menamai batu ini ‘Bang-bang-i’ yang artinya ‘melompat kegirangan’. Koo biasanya menyimpannya di sakunya dan sering membawanya saat pergi ke gym atau jalan-jalan.

“Ada suasana tenang ketika seseorang mengetahui bahwa batuan alam ini telah menghadapi cuaca buruk dari waktu ke waktu hingga mencapai kondisi seperti sekarang,” kata Koo.

Dikutip FirstPost, kesepian dan kelelahan bukanlah hal baru di Korea Selatan. Faktor stres seperti keuangan dan tekanan pekerjaan juga berkontribusi terhadap masalah ini.

Meningkatnya jumlah keluarga yang hanya terdiri dari satu orang dan meluasnya budaya kerja berlebihan dipandang sebagai kebutuhan akan solusi baru untuk mengatasi tantangan masyarakat.

Menurut laporan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan pada bulan April 2023, sekitar 3,1 persen warga Korea berusia antara 19 dan 39 tahun dianggap sebagai ‘remaja yang kesepian dan tidak stabil’. Berbagai isu seperti keuangan, kesehatan mental, keluarga, hingga isu sosial disebut-sebut berkontribusi terhadap hal tersebut.

Perusahaan-perusahaan Korea Selatan juga mempunyai catatan buruk dalam hal jam kerja. Banyak pekerja yang bekerja terlalu keras, sehingga menyebabkan banyak stres.

Pada Maret 2023, pemerintah mengusulkan penambahan jam kerja per minggu dari 52 menjadi 69 jam. Situasi ini menimbulkan reaksi keras dari generasi milenial, Gen Z, dan serikat pekerja.

Penolakan ini akhirnya berujung pada peninjauan kembali rencana tersebut. Tonton video “Ribuan Dokter Mogok di Korea Selatan Bikin Pasien Khawatir” (avk/suc)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *