Jakarta –
Seorang pria asal Jakarta didiagnosis mengidap kanker limfoma Hodgkin stadium 4 pada usia 28 tahun. Pria bernama IAS itu berjuang melawan penyakit tersebut selama 8 tahun.
IAS dinyatakan remisi atau bebas kanker pada September 2023. Namun kanker muncul kembali pada Januari 2024. Timeline dan gejala yang dialami
Semua bermula saat IAS mengalami gejala sakit pinggang. Awalnya dia mengira gejala yang dialaminya adalah nyeri punggung biasa atau saraf terjepit akibat ketegangan yang berulang-ulang. Gejala tersebut baru dirasakan pada tahun 2016.
Selain sakit pinggang, pria berusia 35 tahun ini juga mengalami demam tinggi pada malam hari, batuk, dan berkeringat banyak. Situasi ini diamati pada bulan November hingga Desember 2016.
“Punggung bawah (nyeri) di pinggang 3, pinggang 4,” ujarnya kepada Diticcom saat ditemui di Jakarta Selatan.
Makanya saya malamnya demam. Paginya hilang. Lalu keesokan harinya sama, kata Ias.
Ia diobati dengan pengobatan tradisional untuk mengatasi kondisi yang dialaminya. Namun, bukannya membaik, gejalanya malah semakin memburuk seiring berjalannya waktu.
“Jadi saya juga disuruh yoga, lalu disuruh berenang. Lalu ada fisioterapi. Bukannya membaik, malah bertambah parah,” kata Iyas.
“Bukannya membaik, malah bertambah parah. Makanya kami akhirnya memilih operasi. Tapi setelah pilihan itu, malah bertambah parah,” ujarnya sambil menduga dirinya mengidap TBC.
IAS sudah melakukan semua pengobatan, namun kondisinya tidak kunjung membaik. Dari situ ia curiga ada yang tidak beres dengan tubuhnya. “Dokter, sepertinya saya memikirkan hal lain, bukan terjepit. Tapi tetap tidak ada kanker.”
IAS kemudian memutuskan untuk melakukan pemeriksaan MRI. Namun, tidak ditemukan sel kanker di tubuhnya saat itu. Ia diduga mengidap TBC hingga akhirnya menjalani pemeriksaan lebih menyeluruh seperti biopsi dan PET CT scan.
Dari hasil tes, IAS mengetahui dirinya mengidap kanker limfoma Hodgkin. Setidaknya itu keluar pada hari ulang tahunnya.
Awalnya Ias tidak percaya dengan diagnosis tersebut. Selain itu, ia mencari opini kedua di Singapura untuk memastikan apakah ia mengidap kanker.
“Ke luar negeri itu yang saya dapat second opinion. Dulu ke luar negeri, tapi setelah diagnosa. Jadi, sebelum diagnosa, semua di Indonesia. Tapi kalau didiagnosis kanker, di Indonesia,” ulangnya.
“Jadi tahun 2018 saya ke Singapura untuk second opinion, tapi masih sama,” imbuhnya.
Selanjutnya: Apa Penyebabnya?
(suc/naf)