Jakarta –
Fenomena memungut uang atau ‘mandab’ merupakan hal yang lumrah terjadi di kalangan masyarakat bawah Indonesia. Data Mandiri Shopping and Saving Index (MSI) menunjukkan masyarakat kelas bawah masih mampu berbelanja, namun simpan pinjamnya menurun.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan fenomena konsumsi dan berkurangnya nominal tabungan bisa disebut sebagai fenomena tabungan konsumsi.
“Kelompok terbawah masih belanja, tapi tabungannya berkurang. Tapi sudah membaik karena ada bantuan sosial (bansos) dan perlindungan sosial (social security). Kalau kita tanya bunganya, sepertinya sudah mulai pulih. Mereka mengeluarkan uang, itu namanya menabung,” kata Andry pada Media Gathering di Anyer, Serang, Banten, ditulis Jumat (27/9/2024).
Berdasarkan pemaparan Andry, rasio tabungan per kapita nasabah low end Bank Mandiri pada Juli 2024 sebesar 47,9. Jumlah tersebut meningkat setelah terus mengalami penurunan sejak akhir tahun tersebut.
Selain itu, indeks tabungan dipadukan dengan indeks tingkat pengeluaran per kapita kelas menengah. Pada Juli 2024, nilai tercatatnya adalah 110,6.
Kedua tokoh tersebut menunjukkan bahwa fenomena tempat penyimpanan makanan atau ‘mandab’ masih ada pada kelompok ini. Meskipun situasi ini telah membaik karena insentif pemerintah.
Sedangkan kelas menengah, pengeluaran dan pendapatannya stabil sejak awal tahun. Namun, ia fokus pada kelas menengah ke bawah yang tabungannya menyusut meski pengeluaran mereka tetap kuat.
“Orang yang punya uang, itu jenisnya padat, menengah ke atas, rasio tabungannya lebih tinggi,” kata Andri.
Saat ini, berdasarkan informasi yang tersaji, rata-rata tingkat pengeluaran per orang kelompok umur pada Juli 2024 sebesar 112,4. Sementara itu, rasio tabungan per kapita juga berada pada angka 106,2 dan tetap stabil.
“Jadi dari sisi lain ya, ada keinginan untuk mengeluarkan uang (di kalangan atas), strategi pengusaha untuk bisa ‘membagi biaya’, memperbesar ukuran untuk kelas atas dan menengah atas,” dia dikatakan.
Andry menjelaskan, angka Mandiri Shopping Index mengklasifikasikan kelas menengah sebagai pekerja dengan pendapatan bulanan. Oleh karena itu, ia menegaskan pengklasifikasi yang digunakannya berbeda dengan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Masyarakat menengah ke bawah akan sangat kaya jika menjadi pekerja. Itu berbeda definisinya dengan masyarakat menengah bawah di BPS dari data konsumen kita,” ujarnya. (sc/gambar)