Jakarta –
Pemerintah ingin mengganti program subsidi layanan KRL Jabodetabek dengan berbasis NIK. Namun permasalahan ini masih dalam pembahasan Kementerian/Lembaga terkait. Apa dampak perubahan model subsidi KRL ke berbasis NIK?
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, jika pemberian subsidi KRL berbasis NIK ini diterapkan, pemerintah berpotensi menghemat sekitar sepertiga anggaran yang digunakan untuk memberikan subsidi saat ini.
Menurut dia, Pemerintah bisa menggunakan uang simpanan tersebut untuk keperluan lain. Misalnya membangun infrastruktur transportasi di wilayah 3T (tertinggal, perbatasan dan terluar) atau mengintegrasikan transportasi antar wilayah.
“Yang mendapat subsidi harusnya orang-orang yang bekerja dan melakukan perjalanan bisnis. Tapi kalau Sabtu dan Minggu banyak orang yang bepergian (ke KRL), buat apa diberikan subsidi sebesar itu?” Survei saat itu tahun 2018, “Hanya 5% masyarakat yang masih bekerja di hari kerja, sisanya bepergian, kenapa di hari Minggu angkanya hanya 2%,” jelas Djoko kepada detikcom.
Artinya kalau (ada penyesuaian subsidi KRL), kita hitung sepertiga anggaran belanja bisa dihemat. Dengan demikian, 1/3 dari jumlah tersebut dapat dialokasikan untuk kawasan pemukiman (pembangunan transportasi). beralih ke? Atau bawa sebagian ke daerah lain, daerah 3T juga sangat penting. “Kita berbicara tentang Indonesia,” ujarnya lagi.
Joko yakin perubahan program subsidi KRL tidak akan membebani kantong masyarakat, khususnya pengguna jasa. Menurut dia, pemerintah akan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat untuk menentukan nilai tukar ke depan. Oleh karena itu, dia merasa masyarakat tidak perlu khawatir.
“Saya rasa tidak, makanya perlu dikaji ulang besaran subsidi yang mampu dibayar oleh masyarakat menengah. Kalau penghasilan UMR Rp 5 juta dan penghasilan KRL Rp. Harus bayar ya?” dia menjelaskan.
Dia mencontohkan program serupa yang diterapkan di Jawa Tengah, di mana pengguna angkutan umum untuk pelajar dan penyandang disabilitas dikenakan tarif lebih murah dibandingkan kelompok masyarakat lainnya.
Misalnya di Jateng subsidinya Rp 4.000 Rp 4.000, tapi untuk pekerja dan pelajar hanya Rp 2.000, kita hanya tunjukkan KTP saja dan diberikan. Lalu, untuk Trans Semarang Rp 4.000 tapi Pembayarannya yang lanjut usia, veteran, penyandang cacat, pelajar Rp 1.000 sah saja, tidak ada yang keberatan,” kata Joko.
“Jadi menurut saya ini (perubahan subsidi) tidak hanya untuk KRl tapi juga untuk TransJakarta,” imbuhnya.
Di sisi lain, pengamat transportasi Didi Herlambing menilai rencana penggantian subsidi KRL dengan fasilitas NIK bisa menimbulkan permasalahan sosial lainnya. Misalnya, rasa iri sosial di kalangan pengguna jasa KRL.
“Takutnya seperti NIK, takutnya kalau PSO dihapuskan, harganya beda (karena ada yang disubsidi dan ada yang tidak), ada yang mahal, ada yang murah,” bisa dikatakan. jangan bayar apa-apa, menurut NIK, takutnya timbul kecemburuan sosial.
“Bahkan sekarang dengan harga tiket yang sama, mereka (pengguna KRL) berkelahi, membuat keributan, terutama di kereta wanita, berebut kursi, mereka merasa lebih berhak duduk karena lebih tua dan membawa anak.” , dan terutama di masa depan jika harga sewa berubah “akan ada orang yang merasa lebih berhak karena membayar lebih”, saya mensubsidi Anda. ‘, Hal seperti itu pasti menimbulkan gesekan,’ jelas Diddy lagi.
Selain itu, menurutnya, dengan perubahan model subsidi KRL ini, pengguna jasa yang sering melakukan perjalanan jarak dekat akan beralih menggunakan kendaraan pribadi. Tentu saja hal ini dapat meningkatkan volume kendaraan di jalan dan memperparah kemacetan lalu lintas.
“Kedua, mungkin untuk jarak pendek, 25 km, jarak pendek, mereka takut kembali menggunakan kendaraan pribadi. Kalau tarifnya (naik KRL) jadi mahal, mereka akan naik sepeda motor lagi, contohnya mungkin Tanah Abang dari Tibet atau Kimayoran, “Biasanya mereka naik KRL untuk berangkat kerja, tapi kemudian pakai kenyamanan pribadi,” jelas Dedi.